Mohon tunggu...
Gigih Alfajar
Gigih Alfajar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seni

Pengelana tanpa pelana.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Retok: Lumbung di Tepian Kota

3 November 2023   11:00 Diperbarui: 3 November 2023   11:46 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sang Matazai di Kamera


Ingatan ini belum hilang, masih segar. Kala sore, 29 Oktober, matahari menampar wajah kami, bias pancarannya menembus di sela ranting dan dahan kayu perkebunan getah. Aku duduk di panggung kecil bersama tokoh masyarakat seperti Ibu Maria Lestari dan Pak Jakius Sinyur yang juga dimintai kehadirannya. Kali ini sedikit berbeda sekaligus istimewa. Berbeda karena di hadapan ku adalah orang-orang yang terlampau jauh usianya dengan ku, istimewanya juga karena aku diberikan kesempatan belajar memahami semangat berbudaya dari mereka. Usia kami berbeda namun tujuannya sama, yakni berdialog untuk kebudayaan dalam sebuah acara. Salut untuk masyarakat yang hadir saat itu.


Acara yang bernama Retok Art Festival, pertama kalinya diadakan di daerah yang namanya "asing" di telinga orang yang jarang menjelajahi Kalimantan Barat. Acara ini adalah acara perayaan kebudayaan, nyaris persis dengan perayaan yang sering diadakan masyarakat Dayak yang dikenal dengan nama Gawai Dayak. Bedanya kali ini bagi ku lebih kepada perayaan  masyarakat desa Retok atas penghayatan kehidupan sosial dan berbudaya yang beragam; dikemas dalam bentuk yang adaptif dengan semangan zaman.

Dibutuhkan nyali yang besar untuk ke sana, karena ku yakin tak semua orang di luar Retok mengerti medan jalannya. Jaraknya sekitar satu sampai dua jam dari rumah ku. aku pergi dibonceng dengan motor, kita harus melewati jalan yang setengah berbatuan, berpasir dan berlumpur. Siang hari saat ku ke sana, jalannya baru saja diguyur hujan, genangan dan air dari aliran parit yang penuh ada di sepanjang jalan. Ranting dan dedaunan yang tergeletak di tepi jalan seakan mengatakan bahwa kau tak kan pernah bisa kembali. 

Di perjalanan kita dituntut harus tahu kapan harus belok kanan dan kapan ke kiri, sebab sebelum kita menemukan jembatan apung sebagai tanda bahwa kita akan segera tiba, kita akan melewati akses sawit yang penuh dengan percabangan di dalamnya. Semacam labirin yang harus kau tempuh. Jika kita pergi dengan roda empat, maka jenis off-road lah yang akan mudah melewatinya, kecuali kau memang ahli dalam mengendari mobil dan tak cinta tampilan mobil yang bersih. Bahkan di perjalanan rekan panitia yang memang dari janin di sana saat memboncengku sempat mengatakan dalam dialek Dayak Ahe "Aku sendiri pun kadang bisa lupa jalannya, bang!" Nah, di situlah keunikannya!


Kenapa di antara akses yang sulit teman-teman panitia dan masyarakat berani mengadakan acara dan mengundang publik? Jawabannya karena semangat mereka atas kebudayaan yang menurut ku begitu besar. Jiwa-jiwa yang berani dan tulus melestarikan kebudayaan semacam ini justru diharapkan oleh situasi sekarang, di mana di antara kita masih banyak yang memalingkan wajah terhadap keterbatasan ketimbang menerimanya sebagai sebuah tantangan.


Retok adalah daerah yang tak jauh dari kota Pontianak, tapi keragaman sosial budayanya sangat terjaga dari kebisingan kota. Akses yang menantang bukanlah kelemahan, melainkan sebuah keuntungan dari terhindarnya pengaruh-pengaruh yang terlalu rumit dari sebuah kota. Kehadiran acara semacam ini merupakan langkah yang baik dalam membangun kesadaran akan pentingnya menjaga keragaman sosial-budaya. Klaim terhadap masyarakat Kalimantan barat akan toleransinya yang tinggi perlu diwakilkan melalui acara semacam ini, yang memiliki maksud tersirat dalam merefleksikan nilai hidup yang beragam.
Di awal aku menceritakan tentang kesan kehadiran ku dalam dialog budaya dengan masyarakat. Acara itu hanya satu dari serangakaian acara yang disajikian. Acara itu telah tiga hari berlangsung, dimulai dengan ritual adat dan pelaksaan sumpah pemuda di Sungai di hari kedua (28 Oktober). Acara dialog merupakan awal dari sajian penutup, yang pada malam hari resmi diakhiri dengan sajian pertunjukan seni.


Jika kita mampu melihat lebih dalam, kita akan menyadari bahwa pertunjukan hanya sebagian kecil dari keseluruhan acara. Ini mirip dengan puncak gunung es yang terlihat di permukaan samudera. Kebudayaan tidak dapat direduksi menjadi sekadar tarian dan musik; sebaliknya, ia merupakan entitas kompleks yang meresap dalam setiap aspek kehidupan. Ia adalah hal yang lekat seperti ruh di dalam diri manusia, tanpanya manusia hanyalah sebatas tulang dan daging yang bergerak. Melihat kebudayaan haruslah melampaui itu semua karena kebudayaan meliputi etika, tutur kata, rasa, karsa, hingga kemampuan membaca  alam semesta di mana ia tinggal. Di sinilah peran penting acara kebudayaan seperti RAF atau Retok Art Festival, dengan tampilannya yang berusaha mengikuti zaman, tak luput terselubung upaya untuk mengajak kita untuk memahami kebudayaan melampaui dari apa yang dapat dijangkau oleh indera.
Dari memahami budaya, kita mengenal diri kita sendiri, dari mengenal diri, maka kita akan memahami diri kita ini sebagai manusia yang utuh dan tak terpisahkan dengan alam. Jika sejatinya orang yang mengenal budaya adalah ia yang berusaha memahami nilai-nilai kemanusiaan dalam dirinya, maka dian kedamaian akan senantiasa menyala di gelapnya semesta. Mengingat jauh di luar sana terdapat eskalasi politik yang meninggi, maka ada pentingnya untuk memahami kebudayaan sebagai upaya terhindar dari segala tragedi. Semoga!


Terima kasih kepada Ongky Lejo Kayan, sang matazai yang mengundangku entah kenapa acara setulus ini begitu berkesan di kepala ku. Tidak lupa seluruh masyarakat di sana yang berani berjibaku dalam segala keterbatasan. Hinga ibu-ibu sang penguasa dapur yang super duper luar biasa. Daun ubi tumbuknya mantap jiwa! Saya yakin bahwa cinta kita terhadap kebudayaan selalu melebihi segala keterbatasan yang mungkin ada. Meskipun pasti ada kekurangan, itu hanyalah hal biasa. Yang tidak biasa adalah ketidakmampuan kita untuk tetap konsisten dan berupaya mempertahankan keragaman sosial-budaya tersebut.
Lebih dari itu, acara RAF telah membuktikan bahwa semangat untuk menggagas acara tidak selalu terhalang oleh masalah uang, uang, dan uang. Ternyata gotong royong dan kerja sama masih memiliki relevansi dalam mewujudkan apa yang diinginkan bersama, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Hmmm!


Malam kian larut, gerimis menutupi acara RAF yang hikmat, kami berharap matahari yang menyambar wajah sore tadi bisa kembali menyuburkan lahan dan ladang petani. Ku lihat panitia sudah merapatkan barisan untuk evalusi, aku bersama teman yang tak sengaja ku jumpa pamit undur diri, karena ku sadar aku tak cukup waktu mengingat medan labirin untuk pulang tadi.
Adil Ka'talino, Bacuramin Ka'saruga, Basengat Ka' Jubata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun