Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan bahwa Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah hampir tuntas dibahas dan bila sesuai dengan yang dijadwalkan maka RKUHP ini akan disahkan pada 24 September 2019 mendatang.
Namun ternyata sejumlah organisasi masyarakat seperti The Institute for Criminal Justice misalnya menyebutkan ada beberapa pasal yang berpotensi membuka ruang diskriminasi bagi banyak pihak seperti perempuan, wartawan dan beberapa pihak lainnya.
Selain itu, beberapa pasal lain dalam RKUHP ini dinilai bermasalah karena dinilai memiliki potensi menjadi pasal karet karena tafsir bebas yang ditimbulkan.
Kita sendiri tahu bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia saat ini adalah "warisan" dari produk Belanda yang sudah tertinggal 100 tahun yang lalu.
Sedangkan jalannya penggodokan dari RKUHP sendiri sudah berjalan sekitar 50 tahun.
Namun di sisi yang lain, RKUHP ini sendiri terlihat bermasalah, berikut tujuh ancaman pasal karet dan ruang diskriminasi dalam RKUHP.
1. Jerat Pada Korban Perkosaan
Pada pasal 470 RKUHP teranyar mencantumkan "bahwa setiap perempuan yang menggugurkan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan kandungannya dapat dipidana maksimal empat tahun."
Dalam peraturan pada RKUHP tersebut tidak dicantumkan pengecualian untuk jerat pidana aborsi tersebut seperti korban perkosaan ataupun aborsi karena alasan medis.
Padahal aborsi untuk alasan medis sudah diatur dalam Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang memberikan pengecualian terkait aborsi diperbolehkan yakni untuk alasan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
Bila pasal terkait aborsi pada RKUHP ini disahkan, maka apakah ada tanggung jawab dari negara terkait ancaman medis seperti meninggalnya ibu dan/atau anak tersebut.