Sidang sengketa hasil pemilihan presiden (Pilpres 2019) sudah dimulai sejak 14 Juni 2019 yang lalu dengan pemohon dari Tim Hukum Pasangan Calon no urut 02 Prabowo-Sandi yang diketuai oleh Bambang Widjojanto.
Saat ini sidang MK masih berlangsung dengan mendengarkan saksi dari Pemohon dan Termohon.
Kita mencoba flashback sejenak apa yang terjadi selama sidang MK terkait sengketa hasil suara dari pemilihan presiden periode 2019-2024 ini.
Pada sidang awal setidaknya ada 15 petitum dari pihak Prabowo Sandi di Sidang MK kali ini, namun bila dirangkum 15 petitum ini berisi empat garis besar (1) MK diminta membatalkan atau mendiskualifikasi pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin.
Kemudian (2) MK diminat mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 02, Prabowo-Sandi menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (3) Meminta diadakan Pemilu Ulang di beberapa wilayah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, dan Kalimantan Tengah.
Dan terakhir (4) meminta MK untuk memerintahkan lembaga negara berwenang untuk melakukan pemberhentian terhadap seluruh komisioner KPU dan melakukan rekrutmen baru.
Menurut BPN, hasil perolehan suara yang benar adalah pasangan 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapat total suara 63.573.169 (48 persen) dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 68.650.239 (52 persen).
BPN mempercayai penghitungan yang dilakukan oleh internal BPN sedangkan pemutusan total suara yang sah dan penentuan siapa yang menang dalam kontestasi Pilpres 2019 ini ditetapkan oleh KPU.
Ketidak-samaan itulah yang mempertemukan mereka di Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi tontongan khalayak ramai Rakyat Indonesia dan (semoga) menjadi pembelajaran politik bagi warga negara Indonesia.
Narasi Berbahaya
Namun, jika dilihat dari semua gugatan yang diberikan oleh Tim Hukum BPN Prabowo-Sandi yang dibacakan oleh Bambang Widjojanto ini, ada narasi yang sedang dimainkan oleh BPN yang sulit ditangkis oleh TKN (Tim Kemenangan Nasional) Jokowi-Ma'ruf.