Mohon tunggu...
Julia Maria Van Tiel
Julia Maria Van Tiel Mohon Tunggu... -

Penulis buku Anakku Terlambat Bicara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kasus TKI Di Saudi Bisa Dilihat Sebagai Domestic Violence

22 Juni 2011   21:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:16 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nampaknya memang tidak ada jalan lain kecuali pengiriman tenaga kerja wanita ke Saudi dihentikan saja. Apalagi seorang ketua PB NU sudah mengatakan sebagai berikut:

“Saya sudah lama mengusulkan TKW tidak usah ke Arab Saudi. Masih banyak orang Saudi primitif, tertutup untuk orang lain. Masih banyak kelakuan mereka yang jahiliyah. Tapi ingat, ini bukan Islam, tapi orangnya.”

Orang Taiwan, kata Kang Said, atau Hongkong lebih kondusif untuk tenaga kerja wanita. “Orang Taiwan yang bukan Islam itu lebih beradab, lebih terhormat, lebih islami ketimbang orang Saudi,” jelasnya. http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/32664/Warta/PBNU__Arab_Saudi_Tidak_Aman_bagi_TKW.html

Hukum pancung bagi Ruyati memang sudah menarik banyak diskusi dimana-mana terutama yang menyangkut hukum qisas yang merupakan hukum Islam. Diskusi pun bisa sangat panas karena bisa banyak yang tersinggung dan mengganggap diskusi ini sebagai pelecehan agama.Begitu juga kala disajikan data begitu banyaknya kasus hukuman mati yang ternyata diberlakukan di negara-negara berbasis agama Islam, yaitu Saudi Arabia dan Malaysia, yang tudingannya sebagai pelanggaran HAM. Terutama pelanggaran HAM yang ditudingkan oleh Amnesty International.Kasus terbanyak adalah disebabkan karena para TKI telah membunuh majikannya. http://nasional.inilah.com/read/detail/1627232/ratusan-ruyati-lain-menanti-pertolongan

Namun yang menarik untuk dikaji adalah, mengapa justru masalah ini terjadi di negara-negara yang kita kenal sebagai negara berbasis Agama? Bila membahas dengan thema ini, justru hanya menimbulkan pro kontra tentang pelaksanaan hukum qisas sebagai hukum syariat. Bahkan ada sebagian yang justru mengingnkan model ini diterapkan di Indonesia, sebagiannya justru menentang mengingat Indonesia adalah kelompok masyarakat yang plural.

Namun kita bisa membuat pertanyaan, mengapa justru para TKI ini melakukan tindak kejahatan berupa pembunuhan majikan? Apakah majikannya stress karena adanya masalah komunikasi dimana TKI tidak menguasai bahasanya sehingga menimbulkan percekcokan? Namun di Malaysia yang sama-sama berbahasa Melayu, kejadian hukuman mati justru lebih tinggi daripada di Saudi. Ataukah disebabkan karena Indonesia mengirim TKI yang memang sudah mempunyai ambang emosi yang tinggi yang bisa menyulut perilaku sadisme? Hal ini yang bisa menjawab adalah para psikolog forensic dan psikiater dengan cara melakukan pemeriksaan psikologis dan psikiatris.

Namun kita bisa melihatnya dari sudut lain, yaitu dari sudut masalah domestic violence, atau kekerasan dalam rumah tangga. Dari banyak penelitian-penelitian baik penelitian sosial maupun psikologi perilaku, domestic violence banyak terjadi di masyarakat yang memegang sistem sosial patriachat sebagaimana kelompok masyarakat Arab dan masyarakat Malaysia. Sistem sosial patriachat kuat juga menumbuhkan kelompok elit sebagai pressure group yang melakukan kontrol dari atas terhadap kelompok yang lebih luas. Dampak sistem ini juga menumbuhkan terjadinya diskriminasi gender, maupun diskriminasi kelas. Beberapa penelitian kesehatan juga menunjukkan adanya posttraumatic stress pada wanita akibat tekanan dan diskriminasi gender dalam masyarakat dengan sistem sosial patriachat ini.

Ruyati dalam beberapa laporan di surat kabar diberitakan mengalami tindak kekerasan yang menyebabkan ia harus dirawat di rumah sakit. Ruyati diperkirakan membunuh majikan karena pemberontakan atas penindasan dirinya dari majikannya. Inilah gambaran sebuah domestic violence yang visa versa, dari majikan ke pembantu, dan dari pembantu ke majikan.

Buat saya peristiwa Ruyati, terlepas dari masalah hukuman mati yang dinilai beberapa kalangan sebagai hukuman yang tidak adil itu, bisa memberikan pengertian pada kita, bahwa bentuk sistem sosial suatu masyarakat bisa membawa bencana kemanusiaan yang tragis. Di satu sisi majikan yang berperilaku mampu melakukan penganiyayan hanyalah sebuah suatu bentuk pelepasan stress terhadap gencatan sistem yang ada, dengan kata lain ia adalah juga korban sistem yang ada. Namun Ruyati juga adalah korban yang memakan korban.

Karena itu dalam sistem masyarakat yang mempunyai strata di mana laki-laki dianggap sebagai kelas atas, kita pun harus berhati-hati. Masalah yang ada bisa menjadi sangat tragis. Berkaca dari kejadian ini, kita harus pula mampu intospeksi diri, bagaimana dengan bentuk masyarakat kita? Apakah kaum laki-laki kita juga suka menekan istri?

http://www.vaw.umn.edu/documents/dvagainstapi/dvagainstapi.pdf

http://pubpages.unh.edu/~mas2/CP71.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun