Mohon tunggu...
Julia Maria Van Tiel
Julia Maria Van Tiel Mohon Tunggu... -

Penulis buku Anakku Terlambat Bicara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tragedi Ruyati Mesti Dipahami Sebagai Gagalnya Humanisme

26 Juni 2011   22:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:09 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi saya masalah Ruyati adalah suatu tragedi kemanusiaan yang menyangkut masalah budaya suatu bangsa, tata nilai, kemanusiaan dan perkembangan suatu hukum terhadapmanusia. Mendiskusikan tragedi kemanusiaan Ruyati seringkali justru dicurigai melakukan pelecehan agama. Hanya karena adanya kecurigaan ini menyebabkan wacana diskusi menjadi adu tanding siapa yang paling melanggar kemanusiaan diantara bangsa-bangsa dan agamadi dunia, tanpa ada penyelesaian kesepakatan bahwa dalam perkembangan budaya manusia saat ini terjadi adanya tuntutan suatu bentuk keluhuran budi agar manusia dapat hidup lebih damai di dunia. Tuntutan peningkatan keluhuran budi atau budi pekerti, yang dapat diterima oleh segala bangsa maupun agama.

Sudah enam puluh tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikan suatu nilai-nilai keluhuran yang harus dijunjung oleh semua bangsa di dunia, yaitu Human Right Declaration yang dapat kita akses juga dalam bahasa Indonesia disini: http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Pages/Language.aspx?LangID=inz

Dalam deklarasi itu ada pasal-pasal yang meplindungi semua manusia termasuk seseorang yang terhukum:

Pasal 3

Setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu.

Pasal 5

Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya.

Pasal 6

Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai pribadi di mana saja ia berada.

Pasal 7

Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam itu.

Pasal 8

Setiap orang berhak atas bantuan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan pelanggaran hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum.

Pasal 9

Tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang.

Pasal 10

Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas pengadilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.

Pasal 11

1. Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu pelanggaran hukum dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya.

2. Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran hukum menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran hukum itu dilakukan.

Dalam pasal-pasal di atas jelas, bahwa hukuman mati adalah membunuh hak hidup dari setiap insan yang disebut manusia. Apalagi jika cara pembunuhan tersebut dipancung di muka publik, adalah justru merendahkan martabat si terhukum bagaimanapun kesalahan yang dilakukannya.

Banyak yang menganggap bahwa hukuman fisik akan memberikan efek jera, dan diharapkan orang tidak akan mengikutinya. Banyak pula yang menganggap hukuman fisik adalah lebih efektif daripada hukuman penjara. Namun pada kenyataannya hukuman mati adalah sebuah hukuman yang tidak mungkin direhabilitasi. Seseorang yang ternyata sebenarnya tidak mengalami kesalahan, ia tidak mungkin bisa dihidupkan lagi. Semua sistem peradilan bisa juga mengalami kesalahan. Sepanjang hukuman mati berlaku, maka bisa saja terjadi seseorang tak bersalah mendapatkan kematian akibat kesalahan pengadilan. Ruyati hanyalah satu dari kisah-kisah kematian tragis kemanusian yang oleh nilai-nilai humanisme saat ini dianggap sebagai kebrutalan hukum. Masih banyak bentuk-bentuk hukuman seperti ini yang bisa kita temui, seperti misalnya mematikan hak hidup orang lain sebagaimana kasus pembunuhan terhadap kelompok Ahmadyah baru-baru ini. Bisakah kita sebagai manusia berbudaya lebih meningkatkan humanisme tanpa meningggalkan nilai-nilai keTuhanan? Dan tidak menuding bahwa humanisme adalah produk Barat negeri kapir?

http://en.wikipedia.org/wiki/Human_rights_in_Saudi_Arabia

http://www.deathpenaltyinfo.org/Oxfordpaper.pdf

http://www.amnesty.org/en/library/info/ACT51/002/2007

http://library.thinkquest.org/28172/ddandhr.htm

http://www.amnesty.org/en/news-and-updates/saudi-arabia-surge-exections-recent-weeks-2011-06-10

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun