Bulan Februari 2002, saya diundang IDI Jakarta untuk bertutur tentang anak saya. Anak saya yang terlambat bicara mempunyai gejala beberapa perilakunya mirip autisme, tetapi justru anakku dikelompokkan bukan sebagai anak autisme tetapi anak gifted yang mengalami disinkronitas perkembangan. Saat itu saya menjelaskan mengapa anak saya dibedakan dengan autisme, dan bedanya apa. Sehingga judul makalah saya adalah Gifted sebagai differential diagnose autisme.
Namun pembicara lain, seorang psikiater, mengatakan bahwa, saya tidak bisa mengatakan bahwa gifted menjadi diagnosa pembanding autisme. Sebab giftedness adalah perkembangan kognitif, sedang autisme adalah gangguan.
Padahal yang saya kemukakan adalah bukan hanya perbedaan perkembangan inteligensi anak gifted tetapi juga perkembangan perilaku, motorik, sosial, serta kemampuan bahasa dan bicara.
Saat itu tahun 2002, anak saya mendapatkan diagnose gifted disinkroni dari gifted center ( CBO- Centrum voor begaafheid onderzoek) Universitas Nijmegen – Negeri Belanda,  tahun 1999. Saat itu Gifted dengan perkembangan disinkronitas sudah dikenal oleh bidang psikologi, yang meletakkan pandangan baru bahwa melihat persoalan anak gifted bukan hanya melulu melalui perkembangan inteligensinya yang tinggi. Ilmu Psikologi pada saat itu sudah melihat anak gifted melalui bagaimana pola tumbuh kembang, kepribadian, dan perkembangan inteligensinya.
Cara pandang baru dengan melihat pola perkembangan, kepribadian, dan inteligensinya ini disebabkan karena dari penelitian-penelitian yang panjang menunjukkan bahwa memang anak-anak gifted mempunyai pola perkembangan yang berbeda. Jean Charles Terrassier – psikolog Perancis menyebutnya sebagai perkembangan yang disinkroni. Linda Kreger Silverman dan Columbus Grup dari Amerika menyebutnya sebagai perkembangan yang asinkroni. Dalam dunia ilmu psikologi kini lebih dikenal sebagai perkembangan yang asinkroni atau uneven development sebagai pola perkembangan anak gifted pada umumnya. Karena disinkronitas merupakan spectrum dari yang ringan hingga yang berat, tak ayal kita dapat menemui beberapa type anak-anak gifted. Ada yang mampu berprestasi di segala bidang, ada yang mempunyai kekhususan di suatu bidang, tetapi juga ada yang masa kecilnya justru tidak berprestasi. Anak gifted yang tidak berprestasi biasanya disebabkan karena mengalami disinkronitas perkembangan yang cukup berat, umumnya mengalami keterlambatan bicara. Linda Silverman menyebutnya The late bloomer. Anak-anak ini mempunyai kekhususan keluarbiasaan pada kemampuan pandang ruang, karena itu oleh Linda Silverman disebut sebagai gifted visual spatial learner.
Kedokteran anak tumbuh kembang Negeri Belanda secara resmi sudah memasukkan item anak gifted dalam pemeriksaan tumbuh kembangnya dalam kelompok anak dengan perkembangan khusus sejak tahun 2004. Sejak itu secara rutin bila ada anak terlambat bicara sekalipun mempunyai beberapa gejala yang mirip dengan autisme tetapi mempunyai ciri-ciri anak gifted maka anak itu tidak lagi dimasukkan sebagai kelompok anak penyandang autisme.
Jika kita membuka buku panduan pemeriksaan tumbuh kembang anak Ontwikkelingonderzoek in de jeugdgezondheidzorg dari van Wiechenstatus maka item anak gifted berada di bawah butir ontwikkelingproblemen (masalah perkembangan) halaman 92 – 107. Masalah perkembangannya adalah karena pola perkembangan yang mengalami lompatan perkembangan tetapi tidak sinkron. Sehingga ada yang lebih maju dari teman sebaya tetapi ada yang tertinggal.
Pembeda yang paling utama adalah pada autisme mengalami masalah dalam kemampuan konteks (conteksblindness), sedang anak gifted mempunyai keunggulan pada pemecahan masalah. Pada autisme karena mempunyai masalah pada kemampuan konteks, ia mengalami masalah pada kemampuan pemecahan masalah dan keterbatasan kreativitas. Sedang pada anak gifted karena ia mempunyai kemampuan konteks yang sangat baik, ia akan mempunyai kemampuan pemecahan masalah dan sangat kreatif.
Contextblindness kini sudah menjadi teori yang dapat menjelaskan tentang perilaku autisme. Semua kelompok autisme dalam spektrumnya mengalami masalah konteks ini. Inilah yang menjadi pembeda dengan kelompok anak-anak dengan masalah perkembangan lainnya, seperti halnya anak gifted.
Hingga kini dunia ilmu kedokteran tumbuh kembang anak di Indonesia  sama sekali  belum menyentuh persoalan anak gifted ini, padahal peranannya sangat besar dalam mendukung pekerjaan para psikolog dalam rangka mendeteksi anak-anak gifted balita agar bisa segera diberi bimbingan, pengasuhan, pendidikaan, sesuai karakteristiknya. Dukungan lingkungan termasuk diagnose yang benar akan juga sangat menentukan nasib hidupnya selanjutnya.
Tahun 2002 saat saya berdiri sebagai pembicara dalam acara symposium di IDI Jakarta itu, sudah liwat 12 tahun yang lalu. Tetapi hingga kini masalah anak gifted tidak pernah tersentuh oleh pihak kedokteran yang seyogyanya juga bisa membuka cara pandang baru. Demi nasib anak-anak gifted Indonesia, yang menurut catatan para ahli populasi anak gifted antara 2 – 5 persen dari populasi manusia. Sampai sekarang saya masih tidak mengerti mengapa hal ini masih tidak tersentuh oleh pihak Kedokteran Anak Tumbuh Kembang di Indonesia yang pada akhirnya anak-anak ini masuk ke berbagai diagnose lainnya.
Foto: Koleksi pribadi
-Diane Motgomery (2009): Able, Gifted, and Talented Underachiever, Willey Blackwell, Chisester, UK.
-Laurent de Angelo,MS; Brwowers de Jong, EA; Bijlsma Schlösser, JFM; Bulk-Bunschoten,AMW; Pauwels,JH; Steinbuch-Linstra, I (2008): Ontwikkelingonderzoek in de jeugdgezondheidzorg, Het van Wichenonderzoek en De Baecke Motoriektest, van Gorcum, Assen.
-Peter Vermuelen (2009): Autisme als contextblindness, EPPO-ACCO, Berchem-Leuven.
-Asynchrony: A New Definition of Giftedness http://tip.duke.edu/node/839
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H