Mohon tunggu...
Gieyaxi Elmiswandi
Gieyaxi Elmiswandi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Berusaha untuk selalu mencintai mencoba.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ber Ima Si Jani

24 Oktober 2012   05:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:27 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1351056998594499537

Kembali berlari-lari, mencari-cari yang tak pernah ditemui. Kemudian terjongkok menatap melalui jari-jari pelek sepeda masa kecil, yang terlihat adalah sebuah kotak kaleng yang dari warna dan aromanya jelas sangat tidak sehat.

***

“Bukan aku!”

“PLAK!!!” tamparan pertama setelah tendangan dan pukulan yang bertubi-tubi.

Tidak seperti alis lagi, mata pun layaknya buah kedondong, ingusnya cerah berwarna. Bibirnya bergetar. Ia terbaring lemah. Tanah menjadi sahabat terbaik saat itu.

“Aku tidak mengatakan kamu, bahkan kita tidak saling mengenal mungkin. Hanya karena kamu kutub berlawanan dari magnet emosiku,” Geramnya.

***

Karena gigitan nyamuk adalah hal

Karena hal adalah cara

Karena cara adalah jalan

Karena jalan sahabat waktu

Karena waktu kita tahu

Andriandri,

“Wow, seperti yang tidak pernah aku baca sebelumnya. Bukan kamu ini,” ucap Gianti sambil masih memegang sehelai kertas.

Andriandri mengambil kertasnya. Dia menyelipkannya di bagian tengah buku.

“Mmhh,,, seperti keajaiban, nyata tapi sulit dipercaya, itu komentarku,”

“Ahaha,,, kayaknya nggak deh,,, terlalu kepedean kamu Dri,”

Andriandri hanya tersenyum menatap sahabatnya, lalu menatap buku yang belum tergores pena yang baru ia kelaurkan dari tasnya.

Daun-daun pohon dimana mereka bersandar pun seperti berbisik saat tertiup angin. Rerumputan satu arah seperti berkejaran. Sejauh mata memandang, hijau dominan. Hijau. Indah. Tenang.

“Oya Dri, aku boleh mulai?” Tanya Gianti, seraya menjauhkan punggung dari keramahan batang pohon.

Andriandri menoleh, “Mulai lagi deh,” candanya.

“Iya Dri, aku kalah lagi, aku ciuman lagi,” jujurnya tenang,

“Dari tadi aku ngebayangin lagi ciuman sama kamu Gi, wihh,,, it will be awesome I think,” ucapnya sambil kembali menatap kertas bersinya.

“Diajak pacaran kamu gak pernah mau Dri,” balas Gianti, seraya kembali bersandar pada batang pohon. Ia menarik nafas panjang dan membuangnya serentak.

“Haha, kalo hanya pacaran syarat buat ciuman sama kamu, sampai kapan kamu mau lebih taat Gi,”

“Mungkin gak pernah, emang neraka kali bagian aku. Kalau pun aku tobat, aku malu berhadapan dengan penjaga surga nanti,”

“Syukurlah kamu masih punya rasa malu, itu adalah modal. Yap, kamu masih punya modal untuk menjadi istri solehahku kelak,”

***

Dia tersadar oleh sorotan matahari yang menembus celah-celah bilik.

“Ah,,,, ah,,,,, ah,,,,” ia meringis kesakitan

Memar-memar masih menutupi ketampanannya. Bulu alis sudah tampak, dan melekat dengan sisa darah, dan bukan kedondong lagi, matanya mulai tampak.

Seluruh tubuh masih terasa remuk ia rasa. Sangat tidak mudah ia berdiri. Menggerakkan jari telunjuk, seberat mengangkat brangkas miliknya.

………

Ia kembali rubuh...

***

“Dimana aku menyimpannya,” dia bergumam setelah membuka kotak yang sebelumnya ia lihat berada di balik jari-jari sepeda masa kecilnya.

“Apa itu cuma,,,” gumamnya lagi.

Dia berpikir...

Lalu ia beranjak dari bibir ranjang, keluar kamar menuju gudang di halaman belakang rumahnya. Ia menenggelamkan jemarinya ke dalam saku celana. Dia dapatkan kunci itu.

Terbukalah gudang. Sudah hampir Sembilan bulan gudang itu tidak terbuka.

Menatap beberapa mainan kecilnya, ia terbang pada masa kecilnya. Berlari-lari mencari-cari yang tak perlu dicari. Karena itulah uniknya otak anak-anak.

Yes, kotak itu!” gumamnya, seraya berjalan meraih kotak kecil yang disimpan di atas dipan.

***

“Dimana saya?” ucapnya sesaat setelah tersadar.

“Ini saya, Abdul Aziz, hmm, pasti kamu lupa,” tutur Abdul sambil menuangkan teh.

“Aku tidak cukup tua untuk menjadi pelupa Dul. Kenapa bisa kamu yang nolong aku Dul,” jawab Arman.

Abdul tersenyum tenang sambil memberikan teh pada Arman yang masih terduduk di atas ranjang. “Minum dulu Man, teh ini bisa ngobati pusing kamu. Oya, saya setiap hari lewat rumah bilik itu. Lihat mobil parkir terus-menerus selama tiga hari, beberapa warga bertanya-tanya, mobil siapa?”

“Apa? Mobil aku masih ada? Gila tuh orang,” potong Arman.

Abdul meneruskan, “Akhirnya ada warga yang memeriksa rumah bilik itu, dan akhirnya mereka membawa kamu kesini,”

“Kenapa harus kesini Dul,”

“Mungkin mereka menganggap rumah ini paling bisa menampung orang pingsan,” singkatnya.

“Kenapa aku gak dibawa ke rumah sakit Dul? Aw,,”

“Kebetulan di bawah ada ruangan yang cukup lengkap untuk ngobatin kamu Man, jadi saya tidak jadi bawa kamu ke Rumah Sakit,”

“Kamu dokter Dul?” potong Arman.

“Iya.  Kamu hanya cedera kecil, perlu istirahat beberapa waktu, tapi lebih baik kamu bangun, adzan dan sholat berjamaah. Jadwal adzan kamu nanti malam, pas adzan Isya. Tapi kalau kamu keberatan tidak apa-apa, hanya saja ibadah akan membuat kamu lebih cepat sembuh,”

***

“Buru-buru banget kamu sarapannya An?”

“Iya Bu, mau jalan-jalan ke bukit sama Gian,”

“Masih jadi secret admirer nih ceritanya,” Bapak menimpali.

“Ahhh, Ustadz yang satu ini kacau Pak, masih saja ngejar cinta wanita yang bibirnya udah digratisin,” sabet Istiasti.

“Ka, aku udah jatuh banget kayaknya sama Gian. Jujur aku gak mau punya istri kaya dia, tapi aku udah istikharah Ka, Bu, Pak, dia pilihan Andri. Ibu, bapak, Kakak tidak keberatan kan?”

Suasana hening seketika. Tak berbicara namun berpikir pada satu hal yang sama.

“Ibu, bapak, dan kakak, sudah tau semuanya, bahwa Gian tidak begitu baik, tapi dia mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh kita,”

Perlahan mereka mengangguk sambil menatap Andriandri.

***

“Thank’s banget Dul, dua minggu di sini, sedikitnya membuat pendosa ini mau sholat dan adzan. Dan maaf kemarin aku bohong, karena aku emang tidak ingat kamu pada awalnya,”

Abdul Aziz tersenyum tenang, “Yah, sama-sama. Semoga sholat dan adzan jadi kebiasaan kamu. Seperti makan. Tanpa makan kamu lapar, tanpa minum kamu haus, tanpa sholat mudah-mudahan kamu gersang, Aamiin,,,”

“Aamiin... Aku jadi bersyukur juga tiba-tiba ketemu orang gila itu, tanpa disiksa dia, mungkin aku gak pernah mencoba adzan, mungkin aku akan tetap bersahabat dan menuhankan pekerjaan. Sekali lagi thank’s banget Dul. Dan jangan lupa suruh anak-anak yatim itu do’ain aku, agar aku tetap ingat sholat.”

***

“Jadi terkadang, memang gigitan nyamuk kita butuhkan sebagai suatu peringatan,” tutur Gianti berkesimpulan.

“Ya,,, dan ini ada hadiah buat kamu Gi,” jawab Andriandri sambil menyerahkan kotak kecil.

Semilir angin sejuk Memanjakan mereka berdua. Meniup-niup rambut. Membuat aroma cinta semakin nyata terasa. Indah.

“Apaan nih,?” tanyanya cukup antusias sambil mengambil kotak tersebut. Lalu ia membuka kotak itu. “Photo, siapa ini? cantik banget, keponakan ya, kok mirip aku,”

Andriandri tersenyum, “Baca saja tulisan di belakangnya, aku nulisnya tiga tahun setelah photo itu dicetak sih,”

---Calon ibu dari anakku---

***

Dengan jilbab panjang yang menutup rapi, Gianti tak henti menangis. Dia tunduk berlutut di atas peristirahatan terakhir suaminya. Perutnya terlihat sedang mengandung. Ukurannya mengatakan usia kandungan sekitar 3-5 bulan.

Seluruh keluarga besar dan keluarga suaminya hadir di sana. Mereka sangat merasa kehilangan. Mereka ingin berteriak menangis, tapi mereka tidak mau, tidak mau membuat istri yang ditinggalkannya lebih merasa sakit.

Begitu pun dengan murid-murid dan sahabat-sahabat seperjuangannya. Mereka hadir dan amat sangat merasa kehilangan.

***

Untuk suami Sembilan bulanku

Yang mengajariku hampir seumur hidupku

Kupastikan do’a anakmu

Tidak akan pernah lupa mendo’akanmu

Kupastikan engkau tetap menghiasi hati

Kupastikan aku menjadi seperti yang kau niati

Kupastikan engkau tak perlu mengutus nyamuk lagi

Aku, sejati, selalu menanti

Surga itu, tempat kau menanti,

Cinta tulusku, hingga nanti,

giantiandri

Gambar dari

http://dianbeniyuda.blogspot.com/2012/09/fatamorgana-padang-rumput.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun