Mohon tunggu...
Wahyu Gievari Hidayat
Wahyu Gievari Hidayat Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis Itu nikmat. Maka, nikmatilah menulis...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Korupsi dan Sinetron

9 September 2014   21:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:11 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus korupsi bak sebuah jalan panjang yang tak berujung. Ia terus mekar dan subur di republik ini. Candu korupsi melenakan para pemangku kewenangan. Ia mewabah dan meruntuhkan “kehormatan” sejumlah pejabat di eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Korupsi merajalela dan sudah berada di level gawat darurat dan disinyalir telah dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif.

Maraknya korupsi di bumi pertiwi terjadi di hampir semua sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada level daerah dan bahkan menjalar sampai ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah.

Modus korupsi makin canggih, aktornya juga acapkali mengejutkan. Kita terhenyak bukan main ketika KPK menangkap basah Ketua MK Akil Muchtar dalam kasus suap. Sosok yang sebelumnya begitu dipandang ternyata rontok juga imannya gara-gara setumpuk fulus. Sederet kasus berikutnya yakni mentri aktif, Andi Malarangeng, Suryadarma Ali. Yang teranyar Jero Wacik. Siapa yang menyangka, sangka menteri pengobral senyum macam Jero Wacik ternyata juga terjerat dalam kasus korupsi. sampai Presiden SBY pun kaget mendengar koleganya di partai berlambang mercy itu ditetapkan sebagai tersangka.

Wajah Pejabat Ditabiri Topeng

Banyak pejabat yang kelihatan lurus dan luhur, namun nyatanya ialah bagian dari persekongkolan sebuah “proyek” menggerogoti uang negara.

Di layar kaca, kita menyaksikan “kebaikan” demi “kebaikan” yang disuguhkan para pejabat. Seolah-olah dialah yang suci. Yang bersih. Tapi yang terjadi, ternyata dialah yang patut kita sebut : maling teriak maling. Absennya kegigihan dalam menjaga moralitas pejabat menjadi faktor penyebab suburnya praktik korupsi di negeri ini. Mereka adalah golongan orang-orang yang tidak segan dan tanpa sungkan meledek serta mencomooh hukum di negeri ini.

Para penguasa sejatinya menjadi pelopor pemberantasan korupsi. Namun, alih-alih memberantas korupsi, mereka justru justru menjadi aktor kasus korupsi. Defisit integritas pejabat inilah yang menjadi musabab kepercayaan publik jatuh pada titik terendah.

Rakyat sudah jenuh. Jenuh dibohongi. Meminjam istilah budayawan Gunawan Muhammad, kita mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta. Sosok pejabat yang rajin mengumbar “kebaikan” itu ternyata hanya bangunan yang setengah palsu. Konstruksi itu tak pernah punya fondasi. Ia menutupi apa yang tak tampak. Iman memang harus hadir di sini. Karena ialah benteng pertahanan terakhir dari serangan fulus yang membius dan melenakan.

Baru-baru ini Basuki Purnama marah. Ahok, sapaan akrab Gubernur DKI itu, naik pitam gara-gara ulah bawahannya. “Saya sudah muak dengan kemunafikan. Pejabat-pejabat DKI ini luar biasa santun sekali jika ngomong sama saya, tetapi ternyata mereka bajingan semua!”

Terlepas dari pro kontra pernyataan Ahok, namun pernyataan itu makin mempertegas adanya selubung-selubung, kedok, tabir yang acap melekat pada prilaku para pejabat. Di muka publik tampak saleh, di depan atasan ia baik, tapi sesungguhnya itu hanyalah topeng untuk menutupi prilaku buruknya. Kita patut cemas jangan sampai sosok pejabat macam ini tak lebih dari bangunan biologis saja yang tidak dilengkapi yang namanya moral.

Akting tampaknya tidak hanya dikenal di dunia sinetron saja. Akting juga merambah ke dunia nyata. Khususnya kepada para pejabat negeri. Malah, akting pejabat tak kalah hebatnya dibanding akting pemain sinetron.

Seperti galibnya artis sinetron yang berakting, demikian halnya dengan kebanyakan pejabat di negeri ini. Pejabat makin pandai berakting.

Sinetron dibangun oleh beberapa unsur bernama cerita, plot, alur, tokoh. Di dunia korupsi unsur-unsur ini juga berlaku. Korupsi adalah kisah, cerita yang mana aktornya jamak “diperankan” oleh pejabat di negeri ini.

Korupsi ini bak sebuah sinetron stripping yang tidak pernah putus. Koruptor tidak berhenti untuk selalu memainkan perannya. Seperti telah menjadi kewajiban para koruptor untuk melakukan perkara haram tersebut.

Sulit lagi dibedakan antara sinetron dengan kehidupan yang sebenarnya. Kadang cerita di sinetron kita anggap berlebihan, ternyata apa yang terjadi di dunia nyata jauh lebih mengejutkan.Lalu kapan sinetron berjudul korupsi yang dilakoni para pejabat ini akan usai seperti sinetron yang punya episode terakhir?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun