Mohon tunggu...
Wahyu Gievari Hidayat
Wahyu Gievari Hidayat Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis Itu nikmat. Maka, nikmatilah menulis...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Idul Fitri, Salam Lima Jari

26 Juli 2014   17:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:06 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pilpres 2014 meninggalkan banyak catatan. Satu yang dapat kita rekam bahwa hajatan demokrasi kali ini telah membagi bangsa Indonesia menjadi dua kutub besar yang saling berseberangan. Polarisasi itu melahirkan fanatisme, antusiasme, gelora, euforia. Sikap bangsa Indonesia ternyata belum berubah : cepat benci dan cepat suka.

Kita tiba-tiba menjadi benci terhadap apa yang bukan menjadi pilihan kita. Sebaliknya, kita mendadak suka, meski berlebihan, atas apa yang menjadi kehendak hati. Kebencian dan kesukaan itu dikobarkan sedemikian hebatnya hingga meletuslah “perang”.

Banyak hal yang melatari sehingga seseorang menjatuhkan pilihan terhadap sosok capres maupun cawapres yang dikagumi. Ada pendukung yang rasional, ada yang ilmiah, yang realistis, ada juga yang praktis. Apapun latar dan motivasi dalam memilih tentunya menjadi hak setiap individu.

Namun, yang disayangkan, Pilpres kemarin melahirkan polarisasi yang tidak sehat, yang tidak enak dipandang mata dan didengar telinga. Dua kubu tenggelam dalam wilayah persepsi sehingga memunculkan banyak kontroversi, friksi, selisih, bahkan provokasi. Kita melalui sebuah periode “panas” dalam konteks dukung mendukung pasangan capres dan cawapres. Tensi politik nasional naik tinggi.

Riuhnya kontestasi Pilpres ini terbagi di dua dimensi, yakni pada masyarakat nyata dan pada wilayah media sosial. Di media sosial, kita menyaksikan bagaimana emosi masing-masing pendukung dieksplorasi dan diekspresikan secara berlebihan.Saling ejek, saling hujat, saling fitnah, dan caci maki. Gambar-gambar, kata-kata, simbol-simbol dirangkai sedemikian rupa dengan tujuan menyindir dan mencela lawan. Kreativitas yang salah tempat. Syukurlah, apa yang terjadi pasa masyarakat real tidak sekeras itu. Hanya riak-riak kecil, gesekan-gesekan ringan, ketegangan yang tidak sampai berujung pada kekisruhan horizontal.

Begitulah. Masyarakat kita terlalu tergantung pada ketokohan, sehingga ketika tokohnya dilecehkan, maka melecutlah emosi itu.

Dalam ruang besar bernama republik Indonesia ini, kemarahan begitu jelas terlihat. Watak kekerasan seolah menjadi kultur bangsa ini. Sepertinya kita tidak sanggup lagi menekan dan mengerem kebrutalan diri kita sendiri dalam menghakimi pilihan orang lain, meski itu karib, tetangga, bahkan keluarga sendiri. Kita menjelma menjadi seseorang yang memonopoli kebenaran, meski hanya versi kita sendiri.

Namun, kini saatnya untuk menyudahi pertentangan tersebut. Rakyat sudah menentukan pilihannya. Sejatinya kita bukanlah bangsa dengan mental yang suka menghujat dan mencaci maki. Kita adalah bangsa yang terbiasa bertutur kata dengan sejuk, sopan dan halus. Kita bangsa yang cinta kerukunan, toleransi, dan rasa saling menghargai.

Lebih elok sekiranya kalau saat ini kita berbondong-bondong mewujudkan cinta mendalam pada Ibu Pertiwi, sebab inilah sesungguhnya inti demokrasi. Kita, rakyat, yang menjadi penentu wajah negeri ini. Sungguh sayang jika demokrasi yang telah diraih dengan susah payah ini diciderai dengan tindakan-tindakan yang tidak produktif. Tindakan yang jauh dari semangat persatuan dan damai.

Saatnya kembali ke suasana kekeluargaan sebagai bangsa, mengakhiri semua bentuk rivalitas selama proses pilpres. Saatnya memulai sesuatu yang baru, yang lebih sejuk dan yang memberikan harapan. Harapan untuk lebih sejahtera.

Ini pembelajaran demokrasi. Ini menjadi momentum penting kita sebagai sebuah bangsa untuk menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Menang dan kalah itu lumrah. Sebab, esensi dari demokrasi itu adalah bagaimana menghargai perbedaan.

Buruh, pegawai negeri, pejabat, relawan, pengurus partai juga sudah saatnya menghentikan kegiatan-kegiatan yang kontraproduktif dengan semangat persatuan. Dukung mendukung pasangan capres dan cawapres sudah selesai. Sudah saatnya bergandengan tangan menyokong pemimpin baru yang terpilih. Segala perbedaan dan seteru yang terjadi kemarin anggap saja sebagai bagian dari riuhnya pesta demokrasi.

Tidak ada gunanya memelihara dendam. Lupakan dan buang jauh luka-luka yang pernah ada. Sebab, perbedaan itu keniscayaan, sedangkan persatuan adalah sebuah keharusan. Damai adalah harga mati.

Rasululullah telah memberikan teladan bagaimana pentingnya perdamaian itu. Dalam sejarah Islam kita mengenal yang namanya peristiwa Fath Makkah pada tahun ke-8 Hijriyah.

Ketika Rasulullah hendak memasuki kota Mekah bersama 10.000 orang sahabatnya, ada satu sahabat yang mengobarkan yel-yel yang bermakna hari pembalasan dan dendam. Mengetahui itu, Nabi langsung mencegah dan menyarankan untuk mengubah yel tersebut dengan kalimat yang lebih santun. Meski pernah terusir dari tanah kelahirannya tersebut, Rasulullah sama sekali tidak pernah menyimpan dendam.

Wajib dicontoh semangat rekonsiliasi yang disampaikan Rasululullah dalam peristiwa Fath Makkah tersebut. Nabi mengamanatkan kepada para sahabatnya untuk berkasih sayang dan saling memaafkan, bukan untuk melampiaskan dendam.

Hari yang fitri tinggal menghitung hari. Setiap kita wajib menjalin silaturahmi. Ini hari kemenangan jiwa kita setelah memerangi hawa nafsu selama satu bulan penuh. Idul fitri yang berarti kembali kepada fitrah, yaitu fitrah awal kemanusiaan kita, perasaan hati kita selayaknya dipenuhi rasa untuk saling memaafkan.

Jangan lagi ada kata marah, kebencian, hujat menghujat, caci maki, emosi. Hari ini, yang ada hanyalah maaf dan damai. Biarlah yang kemarin menjadi bagian cerita di republik ini. Sekarang, wajib untuk merajut kembali tali silaturahmi.

Buka tangan dan luruskan lima jari kita ke depan sebagai ajakan silaturahmi dan damai. Rangkul saudara kita yang kemarin sempat berbeda pilihan agar kita tidak renggang, sebab itu lebih bijak dan indah biar suasana tidak terus menegang. Dan akhirnya penulis ucapkan, salam lima jari, Minal Aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun