Saya terkadang tertawa sendiri bila mengingat-ingat bagaimana saya memaknai kata pemerintah waktu kecil dulu. Gambaran saya mengenai pemerintah kira-kira begini : sebuah situasi dimana terdapat kawanan pejabat berseragam yang melintasi pemukiman warga. Para pejabat yang sibuk, pejabat yang menyapa warga. Terkadang saya juga mendefenisikan pemerintah adalah mereka yang senantiasa menudingkan telunjuk kepada para bawahannya, sebagai tindakan yang saya maknai sebagai ‘memerintah’. Sesederhana itu otak saya menerjemahkan pemerintah dan tugas-tugasnya.
Setelah duduk di bangku SMP, pemaknaan saya mengenai pemerintah mengalami puncaknya. Saya membayangkan pemerintah sebagai kumpulan manusia pilihan, makhluk yang luhur, wakil tuhan yang diutus untuk membawa kemakmuran yang sebesar-besarnya untuk rakyat. Ia yang gelisah bila rakyatnya miskin. Yang susah tenang jika rakyatnya tak sejahtera, yang sulit tidur jika rakyatnya masih ada yang lapar. Yang menjadi penolong bagi mereka yang ingin mencari keadilan.
Waktu itu otak saya masih terlalu lugu dan sederhana untuk menangkap gejala. Maka, begitu banyak kejadian yang luput dari perhatian saya, meski terjadi di sekeliling, bahkan sangat dekat sekali. Saya menganggap tak ada pertalian antara pemerintah dengan terjadinya kesenjangan, timbulnya kemiskinan, bertahannya kemelaratan, dan lain-lain yang dapat menggulirkan air mata. Maka, saya mahfum saja ketika mendengar ada orang dipukul hingga babak belur gara-gara mencuri sebungkus nasi, ada ayah gantung diri karena tak mampu beli susu, seorang ibu jual diri karena tak kuasa keluar dari lilitan hutang. Yang kecil ditindas, yang kaya dan kuasa menginjak. Memanusiakan manusia hanya menjadi kalimat basa basi saja. Lalu di mana pemerintah? Sayangnya pertanyaan macam ini baru terbit kelak.
Pelan-pelan saya mulai dibuat paham oleh keadaan. Pengetahuan saya perihal pemerintah mulai tercerahkan. Saya mulai tahu apa, siapa, dan bagaimana pemerintah menjalankan fungsinya. Ternyata jauh dari apa yang pernah saya bayangkan dulu.
Pemerintah yang pernah saya deskripsikan sebagai kawanan pejabat yang berjalan di tengah pemukiman warga menampung keluh kesah dan memberi solusi, mungkin hanya hidup dalam angan-angan saya saja. Kalaupun terjadi, pemerintah yang rajin blusukan, barangkali bukanlah sebagai ikhtiar membangun kegembiraan rakyat, melainkan upaya tebar pesona, membangun citra.
Pemerintah punya tugas mahaberat, di antaranya memberikan rasa keadilan, menjamin keamanan dan kenyaman, membuka lapangan kerja seluas-luasnya, dan memberikan pelayanan. Pendek kata, pemerintah punya tugas memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Namun, fakta yang kita saksikan hari ini jauh dari yang semestinya. Rakyat yang menderita, kesenjangan ekonomi yang kian menganga, sesungguhnya telah menjelaskan bahwa antara kerja pemerintah dan harapan rakyat masih jauh panggang dari api.
Kesejahteraan hanya menjadi milik orang-orang tertentu saja, milik mereka yang punya uang dan kekuasaan. Anggaran negara yang diharapkan dapat menyentuh kepentingan orang banyak malah diselewengkan, dinikmati sekelompok orang.
Mewujudkan good governance (pemerintahan yang baik) dan clean government (pemerintahan yang bersih dan berwibawa) sepertinya hanya sebatas slogan belaka. Bagaimana mau baik dan bersih kalau para pejabatnya saja gemar menggelapkan uang rakyat. Kongkalikong, main mata demi rupiah. Maka jangan heran kalau muncul gelombang protes dimana-mana. Itu wujud kekecewaan rakyat yang menilai pemerintah gagal mengemban amanah.
Prilaku manipulatif, kolutif, dan koruptif kian merajalela. Korupsi menjadi sebuah kata yang akrab di telinga, sampai-sampai anak saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, sedemikian fasihnya melisankan kata ‘korupsi’. Data Kemendagri menunjukkan, hingga Desember 2014, ada 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penguasa merampas hak-hak rakyatnya. Tidakkah mereka tahu bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggunjawabannya di hadapan Allah kelak. Tidakah peringatan ini membuat mereka takut dan gelisah?
Umar bin Khattab, sosok manusia pilihan sesungguhnya telah memberikan teladan. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, sang khalifah pernah mencari seekor unta yang lepas dari gerombolan unta sedekah. Tindakannya itu dipertanyakan oleh Ali bin Abi Thalib. Lalu apa tanggapan Umar? Ia mengatakan, “Wahai Abu al-Hasan, jangan mencelaku. Demi Dzat yang mengutus Muhammad sebagai nabi, jika seekor sapi saja tersasar di tepi sungai Eufrat, Umar akan dimintai pertanggunjawaban di hari kiamat kelak.”