Mohon tunggu...
Wahyu Gievari Hidayat
Wahyu Gievari Hidayat Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis Itu nikmat. Maka, nikmatilah menulis...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jangan Dorong Suami Korupsi

11 September 2014   14:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:01 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini muncul berita yang membuat kita geleng-geleng kepala : pasangan suami istri ditangkap KPK dalam kasus korupsi. Rupanya tak cukup suami saja yang dijerat oleh komisi antirasuah, sang istri pun juga ikut terlibat di dalamnya. Memprihatinkan. Alih-alih mengingatkan, sang istri justru mendukung suaminya melakukan tindakan melawan hukum.

Dalam catatan KPK, sudah ada tiga pasang suami istri yang terjerat kasus korupsi. Di antaranya, Bupati Karawang Jawa Barat Ade Swara bersama sang istri, Nurlatifah. Ade Swara merupakan Bupati Karawang, sementara sang istri merupakan anggota DPRD Kabupaten Karawang.

Selanjutnya, Wali Kota Palembang Romi Herton dan istri, Masyitoh, ditetakan sebagai tersangka dalam kasus suap Rp 19,8 miliar kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar. Jauh sebelum Wali Kota Palembang dan sang istri diciduk, KPK sudah menangkap mantan Bendahara Umum Partai Demokrat sekaligus anggota DPR Muhammad Nazaruddin dan istri, Neneng Sri Wahyuni, di  Kolombia dan di Jakarta pada 2010.

Candu Korupsi

Kasus korupsi bak sebuah jalan panjang yang tak berujung. Ia terus mekar dan subur di republik ini. Candu korupsi melenakan para pemangku kewenangan. Ia mewabah dan meruntuhkan “kehormatan” sejumlah pejabat eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Korupsi kian merajalela dan sudah berada di level gawat darurat dan disinyalir telah dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif.

Maraknya korupsi di bumi pertiwi terjadi di hampir semua sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada level daerah dan bahkan menjalar sampai ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah.

Banyak pejabat publik, dari level pusat sampai ke tingkat daerah yang harus masuk bui gara-gara “bermain-main” dengan uang rakyat. Motifnya antara lain, yakni upaya memperkaya diri. Banyak pejabat yang menyalahgunakan wewenang karena tergoda fulus yang angkanya menggiurkan. Mereka menjaring rente di luar dari pendapatannya yang sah.

Dituntut Peran Aktif Istri

Uang panas sang pejabat ini biasanya akan “mengalir” ke rumah. Dan, tangan pertama yang menerima barang haram tersebut tidak lain adalah istri.

Istri seharusnya tidak hanya mempersoalkan kenapa sang suami membawa pulang sedikit uang, tapi istri juga sepatutnya mempertanyakan kenapa sang suami membawa pulang uang lebih, di luar pendapatan yang biasanya.

Pada galibnya, istri adalah pemegang kendali keuangan rumah tangga. Bahkan ada yang mengistilahkan “menteri keuangan” di rumah. Istri yang mengurus lalu lintas uang untuk segala kebutuhan rumah tangga. Maka, istri seyogyanya tidak hanya menjadi “tukang tadah” saja alias hanya terima uang setoran bulanan tanpa mau tahu darimana asal usulnya. Tidak ada salahnya istri juga menanyakan darimana sumber dana tersebut, apalagi kalau jumlahnya tidak biasa. Jika dirasa ada yang ganjil, maka tugas istrilah yang mengingatkan suami.

Sekali lagi, tugas istri mengingatkan, bukannya mendorong sang suami jatuh ke kubangan korupsi. Kita tidak bisa menutup mata bahwa ada juga kaum ibu yang terkesan “mendesak” sang suami untuk mendapatkan penghasilan jumbo. Golongan istri macam ini seolah tidak mau tahu caranya bagaimana, sumbernya darimana, yang penting ia menerima banyak rupiah. Urusan halal tidaknya, mungkin tidak pernah menjadi bahan diskusi. Nah, inilah yang kadang-kadang memaksa suami memutar otak bagaimana memenuhi hasrat materi sang istri. Korupsi biasanya menjadi jawabannya.

Penulis jadi teringat pada sebuah perkumpulan kaum ibu yang diwadahi kegiatan bernama bernama arisan. Konon, arisan hanya dijadikan sebagai ajang bergosip ria, pamer perhiasan dan hal-hal lainnya yang tidak produktif. Arisan sebenarnya juga bisa diarahkan kepada sesuatu yang lebih positif. Sekali-kali momen bisa ini diselingi dengan obrolan seputar bahaya korupsi. Kenapa tidak? Pembicaraan memang tidak perlu terlalu formal, semacam obrolan ringan saja. Saling berbagi, memberi masukan dengan tujuan bagaimana menghindarkan para suami agar tidak terjerat dalam kasus korupsi. Jika perlu bikin perkumpulan arisan dengan nama “Persatuan Istri Pejabat Antikorupsi”. Jadi, arisan tidak melulu membicarakan fashion, sepatu merk terkini, parfum impor, tas yang harganya selangit. Kita tahu, gaya hidup mewah, pola hidup yang ‘wah’ acap menjadi pemicu utama seseorang melakukan tindakan korupsi.

Istri punya peran sentral. Para istri, terutama istri pejabat, jangan bosan mengingatkan suami agar melaksanakan amanat sebagai pejabat publik atau penyelenggara negara. Makin tinggi posisi suami di tempat kerja, maka semakin besar pula peran dan tanggungjawab istri. Istri yang hampir setiap hari bersama suami wajib memberikan nasehat, bukannya mendorong suami melakukan tindakan melawan hukum.

Di Cina, disinyalir istri ikut berperan aktif membantu suami melakukan praktik korupsi. Dalam sejumlah kasus korupsi, para istri cukup diam di rumah untuk menerima suap dari orang-orang yang membutuhkan jasa para suami yang punya kedudukan penting di pemerintahan atau partai.

Itu sebabnya para istri pejabat korup dipotret bersama suami untuk dipamerkan dalam pameran antikorupsi yang digagas oleh Beijing Procuratorate – semacam Komisi Pemberantasan Korupsi. Pameran pertama pada April 2007 menampilkan 134 kasus korupsi. Pameran digelar secara maraton 18 wilayah ibukota, dengan masa pamer masing-masing 10 hari.

Tulisan ini tidak bermaksud menggeneralisir masalah bahwa semua suami yang korupsi sudah dipastikan istrinya juga ikut terlibat. Tidak sama sekali. Pasti ada juga istri yang tidak tahu sama sekali jika sang suami berprilaku korup. Ini sekadar pencerahan bahwa istri punya peran penting dalam “menyetir” suami agar melangkah lurus, memegang teguh sikap luhur, menjaga integritas sehingga tidak tergoda dengan yang namanya materi melimpah tapi didapatkan dengan menghalakan segala cara.

Istri seharusnya mensyukuri berapapun penghasilan suami, asalkan didapatkan dengan cara yang benar. Ini lebih terhormat ketimbang bermewah-mewahan dari hasil korupsi.

Kita patut mengapresiasi langkah KPK saat meluncurkan gerakan “Saya Perempuan Antikorupsi” 22 April lalu. Ini sebagai langkah maju dalam upaya pemberantasan korupsi di bumi pertiwi.

Istri ikut menjadi penentu karir sang suami. Terhormat tidaknya sang pejabat di mata publik juga banyak dipengaruhi oleh peran istri. Istri ikut berkontribusi atas besar tidaknya manfaat yang diberikan sang suami (baca : pejabat) bagi bangsa ini. Sebaliknya, sosok istri juga ikut andil terkait berpotensi tidaknya sang suami menjadi “tamu” KPK.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun