Penemuan wajan raksasa di Kutoarjo, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah beberapa waktu lalu cukup mengusik keingintahuan masyarakat. Hanya saja, sebagian besar sekadar ingin tahu dalam arti melihat, hanya sebagian kecil yang ingin tahu benar asal-usulnya. Dari sebagian kecil yang ingin tahu asal-usul wajan raksasa itu pun terpaksa menunggu hasil penelitian para arkeolog, menunggu balai arkeologi merilis informasi "resmi" dan ilmiah berkenaan dengan wajan raksasa tersebut.
Sembari menunggu hasilnya, sebagai manusia Jawa, tak lengkap rasanya jika tidak mencoba merangkai kepingan puzzle fenomena menjadi sebuah cerita dengan metode athak-athik gathuk.
Sebelumnya pernah beredar sebentuk informasi dari Ustad Fahmi Basya yang juga seorang dosen matematika bahwa Candi Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman. Nama Sulaiman sendiri ditengarai merupakan nama Jawa dengan salah satu cirinya berawalan "Su-"; nama yang dijadikan nama daerah di sekitar Borobudur dan ejaannya bertransformasi menjadi Sleman. Dalam paket informasi itu disebut pula tentang Wonosobo atau Wanasaba (secara dialek 'ngapak') yang diklaim merupakan lokasi definitif Hutan Saba yang berhubungan dengan Ratu Saba dan Kaum Saba.
Sama halnya dengan wajan raksasa di itu. Berdasarkan cerita sejarah, Raja Firaun yang sezaman dengan kehidupan Nabi Musa pernah menghukum Masitoh, dayang-dayang putrinya, dengan hukuman lempar ke dalam genangan minyak panas. Tidak mustahil wajan raksasa di Kutoarjo itu merupakan peninggalan Firaun, alat yang digunakan untuk menghukum Masitoh.
Bukan hanya Masitoh dan minyak panas itu saja hubungannya. Karena ternyata di Kecamatan Kutoarjo ada tempat bernama Tursina atau Tursino; nama tempat yang dalam sejarah nabi-nabi erat kaitannya dengan Nabi Musa. Ada lagi"bukti" lain, di Kecamatan Kutoarjo juga ada Desa yang bernama Wirun. Dengan mengingat aksara Jawa tidak mengenal huruf "F", kemungkinan kata "Wirun" merupakan ejaan Jawa untuk Firaun. Wow!
Ada lagi kecocokan lainnya. Ini tentang tongkat Nabi Musa yang memiliki 'cara kerja' yang sama dengan sada lanang (sada = lidi, lanang = jantan), sejenis pusaka di kalangan masyarakat Jawa. Hanya saja, karena ukurannya jauh lebih kecil, sada lanang diceritakan hanya dapat dipergunakan membelah sungai, seperti dalam cerita Ande-Ande Lumut. Dalam cerita rakyat itu, sada lanang dipergunakan oleh Kleting Kuning untuk membelah sungai, mengeringkan airnya hingga bisa dilaluinya dengan mudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H