Bagi saya, pertuyulan lebih masuk akal daripada penggandaan uang, khususnya uang kertas. Pertuyulan itu pada hakikatnya pencurian biasa dengan melibatkan pelaku gaib berjenis tuyul. Jumlah total uang kertas asli yang beredar di dunia tidak berubah, maksimal sebanyak yang dikeluarkan/dicetak pemerintah (karena uang bisa rusak, terbakar, dll.)
Lain halnya dengan penggandaan uang kertas. Uang kertas resmi memiliki nomor seri yang unik sehingga tidak dimungkinkan ada dua lembar mata uang bernomor seri sama. Lalu bagaimana mekanisme penggandaan uang "versi Dimas Kanjeng" bisa diyakini oleh salah satu anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)?
Jumlah uang yang beredar di republik ini dibatasi untuk mengendalikan inflasi. Jumlah uang yang dicetak Perum Peruri juga mengikuti instruksi dari Bank Indonesia atau BI. Misalkan Peruri mencetak uang seratusan ribu edisi terbaru sebanyak sejuta lembar dengan nomor seri pembeda dari 000001 hingga 1000000, bagaimana bisa digandakan orang? Kalau ada yang digandakan berarti jumlahnya lebih dari sejuta lembar. Kalau bukan keluaran Peruri tentulah palsu. Kalau asli, nomor serinya harus beda. Lalu, hasil penggandaan itu mau pakai nomor seri dari berapa sampai berapa?
Mengherankan kalau masih ada yang percaya. Karena dalam penggandaan uang kertas secara independen itu cuma ada 2 kemungkinan: kalau bukan pemalsuan, pastilah penipuan. Atau ada yang berpendapat lain? Aplikasi smart–dedemit, misalnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H