Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tatkala Softcopy Dianggap Sama dengan Fotokopi di Persidangan

11 Agustus 2016   11:13 Diperbarui: 11 Agustus 2016   11:26 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masih jelas di ingatan kita tentang sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sehubungan dengan kasus yang terkenal dengan sebutan "Papa Minta Saham". Meski terkesan teatrikal dan lucu-lucuan, proses persidangan yang juga sesekali ditayangkan di televisi itu pernah sangat menarik untuk dibicarakan.

Salah satu poin yang cukup menarik perhatian saya adalah saat pemutaran file audio rekaman percakapan. Dalam sesi itu salah satu di antara para juri yang lucunya memakai baju kebesaran ala penegak hukum di pengadilan umum menanyakan apakah yang diputar itu asli apa kopian. Setelah dijawab bahwa itu kopian, juri tersebut langsung meminta file aslinya saja yang diperdengarkan. Sayangnya, file asli ada di pihak lain dan tidak bisa serta-merta didatangkan. Maka persidangan saat itu (pura-puranya) mengalami kebuntuan. Karena sepertinya ada juri yang menganggap keabsahan file digital hasil kopian di media penyimpan portabel setara dengan kertas lembaran fotokopian. Mirip dengan ijasah asli dan ijasah fotokopi, kalau asli masih berwarna, kalau fotokopi – warnanya pasti sudah berbeda, cuma hitam dan putih saja. Anggapan itu mungkin wajar bagi generasi tua yang kurang suka mempelajari hal-hal baru.

Hal yang kurang lebih serupa terjadi di persidangan kasus meninggalnya Mirna alias kasus kopi bersianida pada 10 Agustus 2016. Persidangan yang juga dihadiri terdakwa Jessica Kumala Wongso dan para penasihat hukumnya itu menghadirkan saksi-saksi ahli digital forensic.

Lepas dari niatan yang memang untuk membantah dan menolak segala kesaksian yang memberatkan klien yang dibelanya, kuasa hukum Jessica mempertanyakan hal yang mirip dengan kejadian di persidangan kasus "Papa Minta Saham". Kuasa hukum terdakwa mempertanyakan mengapa yang ditampilkan bukan alat bukti asli yang disita polisi. Kuasa hukum menolak analisis ahli karena sumber yang dianalisis cuma kopiannya. Malah kuasa hukum tersebut juga sempat menanyakan yang dianalisis itu kopian yang keberapa. Kalau tidak salah menebak, arahnya akan menganalogikan dengan fotokopian yang difotokopi lagi sehingga hasilnya makin tak jelas. Karena setelahnya ada pertanyaan apakah kalau filenya dikopi berkali-kali bisa dipastikan kualitasnya tidak berkurang. Sayangnya, jawaban saksi ahli tidak seperti yang ia diharapkan. Karena berkas digital berbeda dengan berkas analog; softcopy tidak bisa dianggap sebagai analogi lembaran kertas hasil fotokopi.

Secara logika sains, barang bukti turunan dan kesaksian ahli dalam menganalisis CCTV kafe Olivier TKP kasus Mirna di persidangan 10 Agustus kemarin itu sudah ibarat checkmate dalam permainan catur. Tapi persidangan di pengadilan negeri bukan permainan catur, bukan pula lomba debat. Vonis hakimnya pun masih nantinya masih bisa "digugat".

Hmm., saya jadi penasaran juga. Karena sepertinya sangat sulit untuk memahami bahwa Mirna dibunuh oleh orang yang paling meyakini kalau kopi beracun itu akan diminum oleh Mirna sendiri. Masih juga ragu menunjuk pelakunya? Memangnya pegawai kafe tahu itu kopi nantinya buat siapa?

Jadi saya coba titip pertanyaan saja pada jaksa. Tolong tanyakan pada terdakwa, selain terdakwa sendiri, apakah ada orang lain yang tahu kalau kopi itu dipesan untuk Mirna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun