Smurf merupakan judul komik berseri terkenal yang menceritakan kehidupan makhluk-makhluk mungil berwarna biru di rumah-rumah berbentuk jamur di tengah hutan. Komik atau cerita bergambar yang asli Belgia karya Peyo (nama pena dari Pierre Culliford) ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia, termasuk bahasa Indonesia.
Dalam komik itu, smurf bukan hanya nama bangsa, smurf juga merupakan kata yang sering diucapkan bangsa Smurf sebagai pengganti berbagai kata lain yang berbeda.
"Awas, kalau bacanya tidak smurf, nanti bisa smurf sendiri."
Kalimat di atas itu contohnya. Kata "smurf" yang lebih depan dan kata "smurf" yang lebih belakang dalam kalimat itu menggantikan kata-kata yang berbeda. Bangsa Smurf sudah biasa menggunakannya sehingga tidak terlalu smurf kalau membaca atau mendengar smurf seperti smurf di atas. Jadi, Anda juga tidak usah terlalu smurf, yang penting smurf saja.
Belum lama saya sadar kalau komik Smurf itu juga memiliki "pesan visioner". Saya akhirnya paham bahwa fenomena unik bangsa Smurf dalam berkata-kata itu bisa juga terjadi pada manusia, khususnya pada anak-anak.
Si kecil anak saya kebetulan agak terlambat bicara sehingga perlu menjalani terapi wicara. Berbarengan dengan periode terapi wicaranya, si kecil masuk sekolah TK A. Tampaknya kedua hal itu bersinergi positif, buktinya kemampuan bicara si kecil meningkat drastis. Untuk kata-kata yang orang lain tak memahami, si kecil mendeskripsikannya dengan cara lain. Saat orang tak memahami ucapan "nana" yang maksudnya buah nanas, ia mendeskripsikannya lagi sebagai "rumah spongebob" sambil menggambar di udara. Saat orang lain tak memahami ucapan "pisa" yang maksudnya buah pisang, ia mendeskripsikannya lagi sebagai "makanan kesukaan monyet uu.. aa.. uu.. aa" sambil memeragakan aksi memegang pisang dan memakannya dan menirukan gestur monyet. Jadi, bicara dengannya kadang serasa mengikuti kuis tebak kata.
Beberapa minggu lalu, saat mengikuti acara "akhirusanah", semacam perpisahan akhir tahun ajaran di sekolahnya, ia bersama teman-temannya menari dengan iringan sebuah lagu daerah. Sepertinya itulah pemicu "smurf syndrome" yang dialaminya. Awalnya ia cuma lapor, "Ayah, aku tadi dindin badindin di sekolah."
Dari rekaman di ponsel ibunya terlihat saat ia "menari" bersama teman-temannya diiringi sebuah lagu daerah Sumatera Barat berirama rancak. Ternyata itu yang dia maksud "dindin badindin". Memang ada kata-kata dindin badindin dalam lagu pengiring tariannya. Wajar menurut saya karena anak-anak memang cenderung mengistilahkan sesuatu dengan kata yang paling ear-catching baginya.
Namun dalam perkembangan selanjutnya "dindin badindin" itu bagi dia menjadi semacam kata favorit yang menggantikan kata atau bahkan frasa lain yang ia sedang "ogah" untuk mengucapkan. Maka jadilah kata "dindin badindin" itu menjadi seperti kata "smurf" bagi bangsa Smurf.
Dengan fenomena tersebut, praktis acara ngobrol dengannya yang awalnya semacam kuis tebak kata berubah menjadi kuis tebak makna dindin badindin. Kalau ia berkata "Aku mau dindin badindin pakai air hangat." Berarti dindin badindin = mandi. Kalau ia berkata "Dindin badindin-nya nanti saja. Kakak masih nonton Conan di laptop." Berarti dindin badindin = main game.
Pernah suatu saat ia berkata," Ayah mau dindin badindin sama aku?"