Beberapa hari yang lalu beberapa media memberitakan dua caleg partai D, yaitu SB dan H yang terbukti membagi-bagi uang saat kampanye. Bukti yang bukan hanya berupa gambar atau foto yang dengan "segala" cara pasti akan disangkal oleh "Bung Roso", kolega mereka yang oleh sebagian masyarakat dianggap pakar "telematika". Bukti itu berupa video yang sekarang telah di-youtube-kan sehingga dapat diamati masyarakat seluruh dunia.
Lucunya, dasar politisi, keduanya masih saja berargumen. Dengan berbagai alasan, keduanya sama-sama terkesan merasa "tak bersalah". SB berargumen bahwa uang yang dia berikan sambil menari-nari itu dia berikan ikhlas lillahi ta ala tanpa ada pesan/imbauan untuk memilih dia nantinya (meski jelas-jelas dalam rangka kampanye dan uang itu jelas diapersiapkan di sakunya). Sama sekali tak melanggar ketentuan kampanye, menurutnya.
Lain lagi kelucuan H, wanita caleg partai D yang tertangkap kamera video sedang membagi uang limaribuan pada anak-anak. Ia berargumen bahwa anak-anak itulah yang mendatanginya, bukan dia yang mengundangnya. Tapi segepok uang limaribuan itu jelas sengaja diapersiapkan sebelumnya. Untuk apa?
Politik uang atau bukan, mereka melanggar aturan kampanye atau tidak, masyarakat sudah mampu menilainya. Bukan lagi soal benar atau salah di muka hukum, tetapi soal kejujuran dan integritas. Sayangnya, pihak partai yang dalam hal ini dicitrakan oleh ketua umumnya terkesan "kura-kura dalam perahu". Atau mungkin memang media tak berani meminta konfirmasinya. Jangankan rakyat jelata, media massa yang digawangi para intelektual pun pasti bingung saat berhadapan dengan SBY sang ketum partai D. Beliau sedang berdiri sebagai pelindung siapa? Pelindung seluruh rakyat Indonesia atau pelindung simpatisan partainya saja? Bisa jadi opsi yang belakangan itu dan secara de facto, sekarang ini RI memang sudah tidak berpresiden lagi. Kesimpulan ini rasanya lebih bersahabat dengan logika. Siapa yang tak terkesima jika diminta memaknai fenomena seorang politisi yang tetap meminta hak dan fasilitas sebagai kepala negara/pejabat pemerintah saat melakukan kewajiban sebagai ketua umum/pengurus partainya.
Bukan hujatan, sekadar ungkapan keprihatinan pendukung usulan agar dalam pelantikan presiden maupun menteri kabinet yang akan datang, sumpahnya memuat pernyataan:
"My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins"
Menurut Wikipedia, kalimat   itu merupakan pernyataan dari Manuel Luis Quezón (19 Agustus 1878 - 1 Agustus 1944), presiden persemakmuran Filipina dua periode (1935 - 1944).
----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H