Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Politik Bandar "Kipyik"

26 Mei 2016   21:45 Diperbarui: 26 Mei 2016   22:13 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.wpclipart.com.

Kipyik itu istilah untuk sejenis permainan judi, baik menggunakan dadu maupun roda berputar. Waktu saya kecil, permainan judi itu banyak beredar saat ada tontonan. Biasanya wayang kulit, baik siang maupun malam. Saya tidak pernah ikut memasang taruhan, sekadar menonton tingkah laku tingkah lucu teman-teman sebaya sepermainan. Saya lebih suka menukar uang saku dengan kupat tahu daripada mengundi nasibnya dengan dadu.

Ada sedikit keunikan dan keasyikan pada permainan itu. Salah satunya karena lokasinya yang tidak terang-terangan, tidak pernah berada di pusat keramaian tontonan, melainkan pada jarak tertentu yang cukup jauh, pada tempat yang cukup 'tersembunyi'. Menemukan lokasinya saat ada tontonan merupakan tantangan tersendiri. Jika tontonan ada di tengah perkampungan, arena kipyik bisa jadi digelar di pinggiran kampung di dekat persawahan, atau di pekarangan warga yang rimbun dan teduh oleh pohon bambu yang membentuk rerumpunan.

Tantangan melacak lokasi arena kipyik itu makin mengasyikkan jika tontonan digelar saat malam. Karena yang jadi petunjuk adalah kerumunan nyala lampu minyak yang terlihat berkelip meski jaraknya tidak selalu berdekatan. Kalau lagi apes (ini kata teman-teman), bisa salah sangka atau salah identifikasi, bukan lampu minyak bandar kipyik yang didekati, melainkan kemamang, sejenis hantu atau memedi. Itu semacam penampakan bola api yang bergerak melayang –layang. Untunglah saya tak pernah ditemui makhluk begituan.

Soal kipyik itu, saya tak tahu persis cara mainnya. Yang jelas orang-orang menaruh uang di hamparan kertas berpetak di nomor-nomor tertentu, bahkan ada yang memasang di garis batas antara dua nomor. Setelah itu bandar kipyik mengocok dadu-dadu yang ditutup kaleng dan dialasi kayu, dadunya memang lebih dari satu. Biasanya cuma sekali kocok. Beberapa saat kemudian dibuka. Biasanya ada satu dua yang keluar nomornya sehingga mendapat bayaran dari bandar, tetapi biasanya pula lebih banyak yang lolos sehingga uangnya diambil bandar. Lucunya, jika banyak pemasang yang nomornya keluar, bandar kadang tidak mau membayar penuh. Alasannya modalnya habis, lalu buru-buru mengemasi perkakasnya dan pergi. Entah si bandar lalu pergi betulan, pulang, atau hanya pindah lokasi, tak ada yang mau memastikan. Yang jelas ia sudah bisa menghemat dana pembayaran taruhan. Itu salah satu politik bandar kipyik. Ada lagi lainnya.

Saat sepi pengunjung, bandar kipyik biasanya memanfaatkan "kru"-nya untuk menarik perhatian. Para "kru" yang merupakan teman-teman atau bahkan keluarga si bandar kipyik akan pura-pura memasang taruhan. Si bandar pun terlihat bersemangat dan sibuk mengocok dadu atau memutar roda kasino mininya. Taktik seperti ini biasanya efektif. Para pemasang taruhan cenderung tertarik pada lapak kipyik yang ramai. Di samping asyik karena banyak teman (mungkin sensasinya seperti nonton bareng alias nobar), mereka beranggapan dadu atau roda kasino mini si bandar gampang ditebak sehingga menguntungkan pemasang taruhan. Maka terbujuklah mereka karena politik si bandar. Berduyun-duyunlah para petaruh kecil-kecilan itu mengadu peruntungan. Yang senang bukan kepalang tentu si bandar. Banyak petaruh berarti banyak setoran. Toh ia sendiri sudah membatasi besarnya kerugian dengan politik pengakuan kehabisan modal.

Lalu, apakah para petaruh itu tertipu? Sepertinya tidak. Atau tidak merasa. Dianggap sekadar memberi setoran pada bandar pun nggak masalah. Toh harapan untuk mendapatkan keuntungan berlipat selalu ada. Asalkan nomor yang dipasangi taruhan sama dengan jumlah bulatan pada sisi atas dadu bersisi enam milik bandar, modalnya akan kembali bersama hadiahnya. Secara hukum rimba perkipyikan, itu fair.

Yang tidak fair itu kalau semua petaruh diminta membayar sejumlah uang dan nantinya suka-suka si bandar untuk menentukan pemenang yang berhak mendapatkan hadiahnya. Secara hukum rimba perkipyikan itu tidak fair, mencederai kemurnian filosofi kipyik. Tapi, yang seperti itu tetap diperbolehkan, asalkan bandar dan para petaruhnya sama-sama setuju. Kalau demikian, sebutannya bukan kipyik lagi, melainkan … KONVENSI. Dan bandar kipyik-nya beranalogi–bertransformasi menjadi ….. (silakan diisi sendiri).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun