Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nilai-Nilai Pancasila yang Sudah Biasa Dilanggar Setelah Reformasi

1 Oktober 2014   17:50 Diperbarui: 13 September 2015   18:50 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika judul di atas adalah sebuah pertanyaan, maka anak SD zaman Orde Baru pasti sudah mampu menjawabnya. Hal ini karena anak SD zaman orde baru dibekali pengetahuan tentang Ekaprasetia Pancakarsa, yang artinya satu tekad untuk melaksanakan lima kehendak. Itu termaktub dalam bahasan materi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila alias P4. Dan dalam pelajaran PMP, sudah biasa ditanyakan perbuatan ini sesuai dengan sila berapa, perbuatan ini bertentangan dengan sila berapa. Dalam Cerdas Cermat P4, bahkan pemahaman itu sudah mencapai level butir-butirnya; perbuatan ini sesuai dengan Pancasila sila berapa butir berapa dalam Ekaprasetia Pancakarsa. Namun, itu zaman dulu, zaman Orde Baru di mana dikatakan demokrasi masih terpasung.

Kehancuran orde baru yang berpuncak di tahun 1998 segera diikuti kelahiran orde reformasi. Sayangnya, kelahiran orde reformasi itu diboncengi kelahiran kembali berbagai paham yang bertentangan dengan Pancasila. Salah satunya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menuntut pemulihan "nama baik" di buku-buku pelajaran sekolah. Tampaknya ada jargon keliru yang sengaja dimanfaatkan yaitu: my enemy's enemy is my friend. Orde baru yang ikon utamanya adalah Presiden Suharto dianggap mewakili keculasan terhadap demokrasi sehingga semua musuh Orde Baru dianggap "teman" bagi pejuang demokrasi di era reformasi itu. Sebaliknya, semua produk Orde Baru dianggap alat pasung demokrasi, termasuk P4 tadi itu. Hasilnya, penataran P4 di berbagai jenjang pendidikan dari tingkat menengah hingga perguruan tinggi dihapus dengan sukses.

Bahaya sekali sebenarnya, tetapi memang hampir tak ada yang secara khusus tetap membentengi Pancasila kita. Maka jadilah nilai-nilai Pancasila luntur di hati anak-anak bangsa. Jangankan mengamalkannya sebagai pedoman hidup, mempelajarinya saja tidak. Tak heran jika bermunculan paham-paham radikal sebagai efek domino kehancuran orde baru. Jarang yang mau mengakui bahwa selain demokrasi, yang juga dipasung oleh Orde Baru adalah perkembangan paham-paham radikal dan terorisme itu. Dengan hancurnya Orde Baru, paham-paham tersebut menemukan celah lebar untuk berkembang. Hal ini juga dipicu akibat terjadinya metamorfosis pejuang demokrasi menjadi kaum oportunis. Semula mengaku reformis dan pro rakyat, tetapi sesudahnya hanya berkutat pada kepentingan pribadi dan golongannya. Mana mau mereka mengingat Pancasila? Sangat mengherankan jika yang mengaku reformis itu tak tahu bahwa "mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan" merupakan salah satu di antara butir-butir Pancasila. Artinya, mereka tidak Pancasilais.

Pengikut organisasi-organisasi radikal itu, mana ingat mereka bahwa "tidak memaksakan kehendak pada orang lain" dan "mengembangkan sikap tenggang rasa" merupakan bagian dari Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang disingkat P4?

Dari sisi penyelenggara negara, apakah mereka lupa bahwa "tidak bersifat boros" dan "tidak bergaya hidup mewah" merupakan bagian dari pengamalan Pancasila? Artinya, jika mereka boros (memboroskan uang negara) dan bergaya hidup mewah itu sebenarnya bertentangan dengan Pancasila?

Nah, yang terakhir ini yang paling sering dilanggar para anggota dewan perwakilan rakyat yang terhormat (maaf saya tulis dengan huruf kecil saja). Ada butir sila keempat yang menyatakan bahwa "musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur".

Sepertinya masih banyak nilai-nilai Pancasila lainnya yang juga biasa dilanggar di era reformasi. Saya hanya ulas sebagian saja yang kebetulan melintas di otak saya. Jadi ada baiknya para anggota dewan yang terhormat itu diwajibkan kembali mempelajari P4. Dengan demikian, nanti malunya bukan hanya jika tak hapal Pancasila atau Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, tapi juga jika mereka ketahuan bermewah-mewah dan memboroskan uang rakyat untuk hal-hal yang tak penting. Karena itu artinya mereka TIDAK PANCASILAIS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun