Waktu kelas 1 SMA, pas pelajaran bahasa Indonesia, bahasan tentang kalimat masuk akal dan kalimat tidak masuk akal. Merasa "pusing" dengan penjelasan Guru, aku melakukan interupsi dengan sebuah pertanyaan.
"Bu, kalau kalimat - SAYA MELIHAT SENDIRI MATAHARI TERBIT DI BARAT - termasuk kalimat masuk akal atau bukan?"
Teman-teman tertawa mendengar pertanyaanku. Namun mereka terdiam seketika saat mendengar Guru menjawab,"Iya. Itu kalimat masuk akal."
Bagiku, dan mungkin semua teman-temanku saat itu, jawaban Bu Guru itu berlawanan dengan tebakan awal kami. Sekejap, aku sibuk dengan "investigasi" kecil di otakku sendiri, mencoba menangkap inti pelajaran kali itu. Secara singkat aku menyimpulkan bahwa vonis "masuk akal" atau "tidak masuk akal" pada sebuah kalimat BUKANLAH didasarkan pada logis tidaknya kalimat tersebut, melainkan pada "tipe" frasa pendukungnya. Pada contoh kalimat yang kutanyakan tadi, kunci vonis sebagai kalimat masuk akal terdapat pada frasa "SAYA MELIHAT SENDIRI"
Jadi, mau isinya bohong, ngawur/tidak logis seperti apapun, asalkan ada embel-embel frasa "SAYA MELIHAT SENDIRI", niscaya dikategorikan kalimat masuk akal dan shahih. Lalu bagaimana dengan 'pernyataan-pernyataan tak logis' yang diklaim sebagai informasi shahih? Sedemikian sulitkah membedakan antara fakta dan opini sehingga masih saja banyak yang tak mampu melakukannya dengan pikirannya sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H