Lepas dari telaah subjektif para penegak hukum yang dapat ditebak secara jelas keberpihakannya dalam persidangan kasus kopi bersianida sesuai posisinya, menarik bagi kita untuk mencermati arah kecenderungan opini masyarakat awam yang mengikuti perkembangannya.
Kasus kopi bersianida memposisikan Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka pelaku (subjek) dan almarhumah Wayan Mirna Salihin sebagai korban atau objeknya. Tempat kejadian perkara atau TKP-nya di Kafe Olivier pada 6 Januari 2016.
Jaksa penuntut umum sudah menghadirkan beragam bukti dan tak sedikit saksi untuk "membidik" tersangka di persidangan. Sementara itu, dengan segala dalih dan alibi sang pengacara terdakwa mencoba menyangkal serta memungkirinya. Sebuah pemandangan ruang sidang yang "biasa saja" sebenarnya, tetapi bisa jadi luar biasa jika kita ikuti dengan berbekal emosi dan prasangka.
Ada banyak fakta dan peristiwa dalam persidangan, tetapi yang paling menarik adalah rekaman kamera CCTV (Closed-Circuit Television) yang menunjukkan saat-saat kejadian pada hari-H, jam-J, menit-M, dan bahkan detik-D. Apalagi rekaman tersebut dimaksimalkan informasinya dengan teknik digital sehingga menjadi lebih jelas. Penyajian klip rekaman beberapa kamera CCTV sekaligus dalam sebuah tayangan terintegrasi juga menambah kejelasan informasi karena kita seakan disuguhi sebuah "film utuh" dari berbagai sudut pengambilan gambar.
Yang tak kalah menariknya adalah usaha untuk memaksakan konsep "seeing is believing" sebagai alat verifikasi dan justifikasi. Hal ini terindikasi kuat ditekankan oleh pihak terdakwa (pengacara dan pihak–pihak lain yang juga memihak terdakwa). Dengan konsep tersebut, terdakwa hanya bisa dinyatakan bersalah jika ada buktivisual konkret yang mendukungnya. Artinya, terdakwa hanya bisa dianggap bersalah (meracun/membunuh korban) jika ada saksi mata yang melihatnya memasukkan racun ke dalam kopi atau ada rekaman kamera yang mengonfirmasi hal tersebut secara nyata. Selagi tidak ada rekaman yang menunjukkan terdakwa memasukkan racun ke dalam kopi, maka terdakwa harusnya dibebaskan dari tuduhan demi konsistensi asas praduga tak bersalah. Tak sedikit masyarakat yang terpengaruh dan meyakini hal itu sehingga tanpa sadar "memposisikan diri" sebagai pembela terdakwa.
Padahal, konsep yang sama di waktu yang sama juga dapat digunakan untuk menjerat terdakwa. Karena faktanya terdakwa berada di tempat kejadian dan secara probabilitas paling mungkin memanipulasi isi gelas kopi dibandingkan orang lain di sekitarnya. Hanya saja dalam hal ini asumsi awalnya adalah "terdakwa memang bersalah". Dengan asumsi tersebut maka terdakwa hanya bisa dikatakan tidak bersalah jika memang ada pihak lain yang terbukti memasukkan racun ke dalam kopi. Selagi tidak ada pihak lain yang terbukti memasukkan racun ke dalam kopi yang diminum korban, maka dapat disimpulkan bahwa terdakwa itulah pelakunya.
Jadi penerapan konsep "seeing is believing" itu tergantung pada asumsi awal, bersalah atau tidak bersalah. Oleh karena sangat subjektif, konsep semacam itu bisa dianggap sekadar trik belaka. Tergantung pihak mana yang menerapkannya, pihak yang menganggapnya bersalah atau pihak yang menganggapnya tidak bersalah. Pihak mana yang lebih bijak? Apakah pihak yang menerapkan asas praduga tak bersalah itu yang lebih bijak? Nanti dulu!
Dalam salah satu acara ILC (Indonesia Lawyers Club) TV-One, presiden ILC Karni Ilyas pernah memberikan pencerahan bahwa asas praduga tak bersalah itu hanya berlaku bagi para juri (hakim). Para hakim hanya melihat fakta di persidangan, tidak memutus perkara berdasarkan opini yang beredar di masyarakat maupun peristiwa yang terjadi di luar sidang. Masyarakat umum tidak dibebani keharusan menerapkan asas praduga tak bersalah tersebut. Apalagi masyarakat yang ikut aktif menganalisis fakta-fakta dan informasi lainnya yang berada di dalam maupun luar sidang. Masyarakat bebas beropini, baik itu kesimpulannya menyalahkan terdakwa maupun tidak menyalahkan terdakwa, sah-sah saja.
Kemarin malam (29/08/2016), atau mungkin dini harinya (30/08/2016) sekilas saya sempat menyimak rekaman talk show TV-One yang menghadirkan Teuku Nasrullah, pakar hukum acara pidana, dan Darmawan Salihin, ayah almarhumah Mirna. Satu hal yang saya ingat adalah pernyataan pakar hukum tersebut yang menurut penafsiran saya menegaskan bahwa tersangka tidak harus terbukti/terlihat saat melakukan aksinya untuk dapat divonis bersalah karena hakim dapat merujuk pada rangkaian fakta atau kejadian lain sebelum dan sesudahnya.
Sudah clear sebenarnya permasalahannya. Hanya saja kebenaran versi masyarakat dan kebenaran versi pengadilan bisa saja berbeda. Karena kebenaran versi masyarakat mengakomodasi hampir semua unsur fakta, sementara kebenaran versi pengadilan lebih terfokus pada kebenaran menurut hukum formal (KUHP, KUHAP, dll.) yang sudah ada.
Dalam kasus kopi bersianida ini, sebagai bagian dari masyarakat awam yang ikut tertarik mencermatinya, saya beropini bahwa berdasarkan paparan kronologi yang ditampilkan di persidangan; maka hanya ada dua kemungkinan pelakunya: Jessica atau makhluk gaib.