Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Harap Irisan Kuping karena Haram Hukumnya Melaksanakan Nadzar Dzalim

19 April 2016   20:23 Diperbarui: 19 April 2016   20:38 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemilihan Presiden 2014 memang menyisakan fenomena informal yang menarik. Yang saya maksud adalah adanya nadzar-nadzar yang terindikasi diingkari oleh orang yang menyatakannya.

Mantan Ketua MPR Amien Rais pernah menyatakan akan jalan kaki Yogya – Jakarta pulang-pergi jika ada bukti kliping koran yang menunjukkan ia pernah mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan Prabowo, calon presiden yang saat itu didukungnya. Dan, ternyata kliping koran itu ada, kliping koran yang memuat judul "Amien Rais: Prabowo Harus Dimahmilkan". Sayangnya, kabar bahwa Amien Rais memenuhi nadzarnya belum pernah terpublikasikan hingga saat ini.

Nadzar lain keluar dari musisi Ahmad Dani yang melalui akun twitternya menyatakan akan memotong kemaluannya kalau Jokowi bisa menang dari Prabowo Subianto. Faktanya, Jokowi bisa menang dari Prabowo dan akhirnya menjadi Presiden Republik Indonesia. Meski tak ada kabar resmi, publik pastinya tahu bahwa nadzar itu tidak/belum dilakukan karena terbukti istri keduanya malah hamil.

Kabar yang lebih baru datang dari politikus PPP Abraham Lunggana alias Haji Lulung yang bernadzar akan memotong kupingnya jika Ahok berani menggugat BPK ke pengadilan. Ahok pun merespon cepat dengan meminta klarifikasi secara langsung mengenai spesifikasi dan teknis pemotongan. Sadar ketampanannya berada di ujung tanduk, Haji Lulung pun merevisi nadzarnya sedemikian rupa untuk menyelamatkan kuping satu-satunya (kanan atau kiri saja, karena kuping kanan dan kuping kiri beda cetakannya). Bahaya jika menggantungkan keutuhan raganya pada aksi "musuh".

Politisi memang begitu. Nadzar itu bisa jadi setingkat sumpah. Jika sumpahnya saja diingkari, apalagi sekadar ucapan/pernyataan "biasa". Kedok politik sepertinya paling praktis dan nyaman untuk berbohong. Semoga saja malaikat tak mempan suap.

Lepas dari itu, pelaksanaan nadzar yang dzalim dalam Islam justru diharamkan. Dzalim dalam artian merugikan/membahayakan, baik diri maupun orang lain. Jika Amien Rais menunaikan nadzarnya, stamina tuanya kemungkinan besar tak akan kuat bertahan. Ia mungkin akan sakit, pingsan, atau bahkan lumpuh. Hal yang terindikasi mendzalimi diri sendiri. Hal ini dilarang dalam Islam.

Begitu pula dengan Ahmad Dani. Menunaikan nadzar memotong kemaluan jelas merugikan dirinya sendiri, mendzalimi dirinya sendiri, dan tentunya mendzalimi istrinya. Itu pun tak dibolehkan dalam Islam. Meski kepala sudah digunduli, tetap saja perkakas yang beda peruntukan tidak bisa saling menggantikan.

Untuk Haji Lulung, meski sudah berhasil mengamankan kuping dari nadzar kosong dengan omongan politik, aksinya itu bisa jadi sudah dianggap "pelanggaran" sumpah atau nadzar. Kalaupun Ahok benar-benar menggugat BPK dan Haji Lulung terkena tulah nadzarnya, melaksanakan nadzarnya itu pun dilarang agama. Operasi plastik yang mempercantik atau mempertampan saja dihujat ulama, apalagi pemotongan kuping yang jelas mengurangi ketampanannya.

Namun, mengabaikan nadzar tidak bisa gratis begitu saja. Meski itu nadzar dzalim adanya, tetap harus ada tebusan atau kafaratnya. Memberi makan 10 orang miskin, memberi pakaian 10 orang miskin, atau memerdekakan budak adalah tebusannya. Hanya saja kurang dijelaskan berapa hari memberi makan atau pakaian pada 10 orang miskin tersebut. Kalau cuma sehari, jelas tak memberatkan bagi para politisi maupun musisi itu. Tidak bisa memberi efek jera untuk nadzar-nadzar dzalim berikutnya. Membebaskan budak mungkin yang termahal dan tersulit di antara ketiga opsi itu saat ini karena sepertinya harus punya akses ke daerah konflik di Suriah. Tapi, ketiga opsi itu hanya dipilih salah satunya saja. Opsi ketiga kemungkinan besar dilupakan begitu saja.

So, bisa jadi Amien Rais sudah membayar kafarat untuk membatalkan nadzarnya. Wartawan aja yang tidak diundang untuk mengabadikannya. Begitu pula Ahmad Dani. Kafaratnya bisa jadi sudah ditebusnya, hanya disembunyikan dari aktivis media massa. Kalau Haji Lulung belum kena kafarat pastinya, tapi urusannya justru langsung pada Tuhannya.

Sebagai masyarakat penonton atau pengamat, baiknya kita tidak perlu berharap melihat kakek tua berpanas berhujan menapaki jalan Yogya-Jakarta pergi pulang. Kasihan. Ikhlaskan beliau menggantinya dengan harta atau uangnya. Selanjutnya lupakan saja. Tak perlu pula berharap melihat ada kasim dadakan di era milenium ketiga. Kasihan makhluk Venus yang jadi user-nya. Biarkan torpedo itu, berapapun ukurannya, tetap tersemat pada pemiliknya. Ikhlaskan ia menebusnya dengan uang atau hartanya. Selanjutnya, lupakan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun