Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Imunitas Sementara untuk KPK

27 Januari 2015   03:27 Diperbarui: 13 September 2015   18:32 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Memang Dewi keadilan digambarkan membawa pedang sambil menutup matanya. Tapi dia tidak buta. Dan belum tentu juga tidak bisa melihat sama sekali. Karena "Merpati Putih" bisa menyetir mobil tanpa menabrak apapun mesti matanya ditutup, apalagi Sang Dewi yang dewa berkelamin putri. Yang jelas, penutup mata itu cuma untuk memastikan kalau Sang Dewi tidak melirik kanan kiri.

Pedang keadilan sang Dewi itu juga bukan diayunkan dalam kebutaan mata, apalagi kebutaan hati. Ayunan pedang keadilan Sang Dewi itu senantiasa diikuti cerminan akal budi yang disebut "WISDOM" a.k.a kebijaksanaan.

Mahasiswa fakultas hukum di kampus belajar ilmu hukum, bukan wisdom. Makanya, kalau ada penegak hukum yang tidak bijaksana, itu bukan salah kampusnya. Karena kampus tidak mengajarkan kebijaksanaan.

Jika hukum didampingi wisdom, sebenarnya tak perlu banyak teori yang diadu. Tujuan utama hukum (mestinya) adalah kemaslahatan umat. Jika pelaksanaan suatu hukum (tertulis) tertentu justru berpotensi merusak kemaslahatan umat, hukum itu justru harus diabaikan, Dewi Keadilan boleh berpura-pura gak bisa melihat beneran.

So, Pak Jokowi, beri saja hak imun itu pada semua ujung tombak KPK. Tapi ada tapinya. Hak imun itu hanya diberikan selama menjabat dan hanya berlaku untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum menjabat. Itu jaminan mereka dapat menyelesaikan setiap kasus tanpa khawatir diganggu wereng coklat dengan kasus abal-abal tak masuk akal. Artinya, segala kasus yang dituduhkan yang terjadi sebelum mereka menjabat wajib ditangguhkan hingga usainya jabatan.

Dan lagi, mestinya ada syarat bagi orang yang mengadukan masalah ke pengadilan. Syaratnya adalah membaca butir-butir Pancasila minimal 3 kali. Ada 45 butir setelah direvisi undang-undangnya. Dengan demikian, warga tersebut akan tahu bahwa ada amanat Pancasila tentang kewajiban mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan, tepatnya sila ketiga butir kesatu:

Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Kalau si pelapor melanggar itu, tangkap saja dengan tuduhan melanggar Pancasila. Kalau dia anggota dewan, pastikan dibuat undang-undang yang menjamin pemecatannya. Anggota dewan yang tak mau mengamalkan Pancasila, buat apa digaji rakyat?

Memberantas korupsi itu masalah negara, kepentingan seluruh rakyat. Mosok perkara negara seperti itu harus kalah oleh kepentingan pribadi seseorang yang gak paham ajaran dasar negaranya? Apakah penegak hukum haram punya wisdom? ANEH‼

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun