Alkisah ada rombongan kafilah berteduh di bayangan sebuah batu besar di gurun pasir. Tak ada air maupun tumbuhan di situ. Bisa dipastikan hawanya sama sekali tak nyaman. Apalagi tiupan angin yang meski sepoi-sepoi, tetap saja disusupi partikel pasir, debu, maupun abu penyesak napas. Dari situlah mereka sadar untuk bercadar. Bukan lantaran aurat, melainkan adaptasi behavioural.
Tiba-tiba segerombolan anjing datang dan menggonggong tiada henti ke arah rombongan kafilah itu. Salah seorang anggota kafilah melemparkan seonggok daging ke arah rombongan anjing itu. Gonggongan sontak berhenti. Berganti kesibukan sonawi dalam rangka memenuhi hasrat pribadi lidah, ludah, dan lambung masing-masing. Tapi tak lama. Begitu onggokan daging tak bersisa, unisono gonggongan kembali bergema. Makin tak enak didengar karena amplitudonya lebih besar daripada semula. Energi sedekah kafilah dikembalikan dalam bentuk gonggongan.
Para anggota kafilah pun jengah dan mulai lelah. Mereka putuskan untuk segera move on. Maka berlalulah kafilah, diiringi gonggongan istiqomah dari anjing-anjing yang tamak sedekah. Hanya ada sedikit keheranan rombongan kafilah. Mengapa gerombolan anjing itu tak mengikuti mereka jika memang masih butuh sedekah.
Kini rombongan kafilah tadi telah sampai di sebuah oase yang dikelilingi tumbuhan segar berdaun rimbun. Ada terlihat beberapa rumah penduduk. Mereka beristirahat di situ, disambut ramah segelintir penghuni yang ternyata melek teknologi tinggi. Sebut saja kaum atau penduduk hitek.
Dalam obrolan penuh persahabatan, terceritakanlah perihal gerombolan anjing aneh itu. Penduduk hitek tertawa maklum. Mereka menjelaskan bahwa gerombolan anjing itu bukan gerombolan anjing biasa. Dalam komunitas hitek, mereka disebut animal rationale.
Mereka sebenarnya bisa berpikir. Hanya saja kemampuannya hanya separuh otak manusia. Yang paling menonjol adalah kemampuan ngeyel dan ketinggian gengsinya.
Para animal rationale itu merasa memiliki hak untuk disejahterakan oleh rombongan kafilah. Dengan modal gonggongan, mereka paksa setiap kafilah yang lewat untuk memberi mereka imbalan. Mereka tak mau jika itu dianggap sedekah. Mereka sebut itu pemerataan kesejahteraan. Makanya jangan harap ucapan maupun ungkapan terima kasih dari mereka.
Para animal rationale itu sengaja memilih base camp di tengah gurun tandus sebagai latar mereka menjalankan aksi penuntutan hak kesejahteraan. Mereka sengaja menahan lapar untuk memperoleh simpati lewat gonggongan yang menyayat hati. Celakanya, sekali mereka diberi makan, energi makanan itu justru digunakan untuk menggonggong lebih keras lagi. Pokoknya, mereka tak akan berhenti sebelum rombongan kafilah membangun rumah megah untuk mereka di base camp mereka di tengah gurun itu.
Sebesar apapun pemberian kafilah pada para animal rationale itu, mereka akan tetap menggonggong berisik. Ajakan untuk move on bersama pun selalu mereka tolak karena mereka menganut konsep relativitas.
Jika mereka ikut move on bersama kafilah, artinya mereka tak kemana-mana. Posisi relatif mereka terhadap kafilah tidak berubah. Lain halnya jika hanya kafilah yang berlalu dan mereka tetap menggonggong di posisinya di tengah gurun. Para kafilah move on terhadap gerombolan penggonggong, otomatis para penggonggong juga dianggap move on terhadap para kafilah tanpa melakukan apa pun.
Â