Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Desakan Reshuffle adalah Jebakan Buat Jokowi

20 Mei 2015   17:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir semua pihak yang ditanyai soal reshuffle di televisi menyatakan bahwa reshuffle merupakan hak prerogatif presiden. Namun, hampir semuanya pula fasih menceritakan kekurangan atau kelemahan beberapa kementerian yang masuk kategori favorit untuk di-bully. Intinya, mereka sebenarnya "memaksakan" ide reshuffle, tetapi khawatir dianggap tak tahu hukum letatanegaraan.

Isu pun bergulir sedikit liar. Hal ini karena orang-orang yang diwawancarai dan disiarkan media bukan hanya yang memiliki kompetensi, dan isu politis reshuffle pun menjelma menjadi infotainment belaka. Apalagi ada saja bunga-bunga romantika yang kemudian terintip kamera wartawan maupun terekspose khalayak ramai.

Lepas dari kajian maupun kupasan, reshuffle bagi Presiden Jokowi sebenarnya merupakan jebakan. Karena pledoi utama "kebelumberhasilan" kabinet kerja Jokowi adalah soal jangka waktu yang belum memadai untuk dinilai dan dihakimi. Kalau durasi waktu yang terlalui dirasa belum memadai untuk "dihakimi", mestinya belum memadai juga bagi Jokowi untuk "menghakimi" kinerja menterinya. So, jika kemudian tiba-tiba (dalam waktu dekat) terjadi reshuffle, maka pastinya Presiden Jokowi akan kembali menjadi bulan-bulanan di media sosial, bakal tetap dihakimi karena dianggap tidak konsisten dan mau menang sendiri.

Sebenarnya itu bukan masalah besar. Karena pihak yang kelengkapan aktivitas hariannya mencakup mem-bully Jokowi itu sudah sejak awal, sebelum Jokowi dilantik sudah bercita-cita melengserkannya. Jadi, apapun yang dilakukan Jokowi, kalau itu bukan "lengser", maka akan tetap disalahkan. Ibarat ada bayi yang tumbuh, orang normal akan menanyakan sudah bisa apa, apa lagi yang dia bisa, dst. Tapi tidak bagi orang yang dapat dianalogikan sebagai "tim pelengser" tadi. Kalau ada bayi belajar merangkak, mereka akan menyatakan cih.. belum bisa jalan..cih belum bisa nyanyi..cih belum bisa lari..cih belum bisa baca. Tidak logis sebenarnya, tapi kalau dikatakan tidak logis, mereka biasanya tidak mau terima. Sebaiknya memang dimaklumi saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun