Cak Bagio sedang gundah. Gara-gara terus didesak kawan-kawan seperjuangannya untuk ikut mendaftar sebagai calon gubernur di ibukota, ibukota Republik Jokerto. Cak Bagio galau. Bukan karena tidak pede kalau jadi pejabat. Karena toh berbagai jabatan tinggi pernah disandangnya; dari lurah, camat, bupati, dan bahkan adipati, semua pernah dilakoninya…. di panggung. Tapi sama saja. Karena dunia ini panggung sandiwara, tak jauh beda dengan panggung tonil, ludruk, kethoprak, maupun dagelan Suroboyoan.
Cak Bagio tak merisaukan calon pemilih karena para seniman dan budayawan sudah menyatakan diri mendukungnya. Otomatis seniman dan budayawan ibukota yang jumlahnya jutaan akan memilihnya. Kecuali seniman dan budayawan yang merangkap politisi, tentu saja. Cak Bagio tidak merisaukan itu. Yang dirisaukannya hanya biaya untuk kampanyenya nanti. Tengah Bagio merenung, datanglah Kirun, teman yang paling getol mendukungnya.
Kirun   :   Kulonuwun..
Bagio   :   Monggo.. eh.. Run, sini masuk.
Kirun   :   Wah, kelihatannya kamu lagi pusing, Yok?
Bagio   :   Bagaimana nggak pusing. Disuruh nyalon gubernur, didukung kawan-kawan seniman budayawan seperjuangan, tapi biaya nggak punya….mau jual apartemen belum punya apartemen..
Kirun   :   Weiss.. sudah. Soal biaya tidak usah dipikir. Itu tanggunganku. Wiss..pokoknya tanggunganku. (sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri).
Bagio   :   Loh, kok… kalau soal kamu kaya, aku tahu itu, Run. Tapi ini kelasnya kampanye gubernur, nggak cukup sejuta dua juta..
Kirun   :   Halah, sudah tidak usah khawatir. Kamu butuh berapa, satu milyar, sepuluh milyar, bilang saja. Lima brankas di rumahku itu sudah kepenuhan uangnya. Daripada aku beli brankas lagi, mending brankas yang ada dikuras saja.
Bagia   :   Iyaak, becanda kamu itu..
Kirun   :   Bercanda bagaimana, kamu nggak percaya sama aku? Tinggal sebut, kamu butuh uang berapa, mau nomor seri berapa sampai berapa, nanti aku suruh anak buahku bawa ke sini. Itu lima brankas mau kukuras semuanya. Aku mau cetak lagi yang baru.
Bagio   :   Ealah, duit palsu to?
Kirun   :   Duit palsu bagaimana? Kamu tahu nggak, instansi apa yang mencetak uang di Indonesia?
Bagio   :   Tahu
Kirun   :   Apa?
Bagio   :   Tut wuri..
Kirun   :   Hishh.. kok tut wuri.. ngawur aja..
Bagio   :   Eh..anu.. Peruri…
Kirun   :   Nha.. itu Peruri. Kamu tahu mesin cetakannya darimana? Itu pinjam punya'e Den Mas Kirun, nyewa punya'e Den Mas Kirun..
Bagio   :   Misal kayak gitu tapi kan tetap nggak bisa nyetak sembarangan. Jadinya duit palsu, nggak halal itu…
Kirun   :   Eih, sembarangan bilang nggak halal. Instansi itu belum sempat membayar sewa mesin cetak punyaku. Sebagai gantinya aku boleh mencetak uang semaunya. Itu yang di gudang belum diguntingi, nunggu brankas baru.
Bagio   :   Ada berapa?
Kirun   :   Berapa apanya?
Bagio   :   Uangnya? berapa rupiah berapa juta?
Kirun   :   Wah, kalau tanya uang sama Den Mas Kirun jangan rupiahnya, tanya berapa kilo saja!
Bagio   :   Ya sudah, berapa kilo?
Kirun   :   Kira-kira 2 ton.
Bagio   :   Ah, kok banyak sekali?
Kirun   :   Elho.. kamu itu nggak tahu apa, kalau kekayaan Kirun sudah terkenal di muka bumi? Itu orang-orang di mana-mana menggali tanah untuk mencari harta terpendam. Kamu tau itu harta siapa?
Bagio   :   Enggak..
Kirun   :   Itu punyaku. Wong namanya saja harta Kirun..
Bagio   :   Iso ae sampeyan. Itu kan harta karun..
Kirun   :   Halah wong cuma beda sak-huruf aja kok. Wis.. pokoknya gini. Soal biaya kampanye beres. Kita tinggal nyari calon wakil gubernurnya.
Bagio   :   Lho, sampeyan aja yang jadi wakilnya..
Kirun   :   Wei.. ndak bisa. Nanti kalau kita pas rapat bareng malah dikira lagi nerima tanggapan dagelan, jadi nggak karuan.  Kita cari dari partai lain..
Bagio   :   Partai lain mana? Aku nggak mau kalau selain seniman atau budayawan. Nanti malah kerengan dhewe gak rampung-rampung perkarane.
Kirun   :   Heh.. iya. Maksudku itu yang se-ideologi. Sepaham dan sejalan. Kita cari dari partai lain yang sama-sama seniman–budayawan. Piye kalau aku usul calon gubernur wanita saja, itu yang dari Partai Opera Panjava ibukota…Hajah Nunung‼
Bagio   :   Hajah Nunung? Nggak keliru, po?
Kirun   :   Keliru bagaimana?
Bagio   :   Lha kalau Hajah Nunung yang jadi wakil, apa nanti nggak malah ger-geran wong dia cuma lewat saja orang-orang yang melihat pada ketawa terpingkal-pingkal.
Kirun   :   Ahh.. iya..ya. Malah jadi badut-badutan. Kalau Cak Dikin, gimana?
Bagio   :   Cak Dikin sudah punya pasangan sendiri, dicalonkan partai lain. Jangan diganggu. Prinsipnya itu sesama bis kotang dilarang saling mendahului..
Kirun   :   Hoi..hoi.. bis kota, mbull..
Bagio   :   Halah.. mong kacek rong hurup ae mbok protes..
Kirun   :   Rong huruf wis beda artine, kuwi. Eh, nanti kalau kamu sudah jadi gubernur, jaga lisanmu, jaga omonganmu, jangan sembarangan, jangan kasar…
Bagio   :   Nggak boleh ngomong kasar?
Kirun   :   Nggak boleh.
Bagio   :   Misuh?
Kirun   :   Podho ae, gak boleh.
Bagio   :   Kalau ngomong jancok, boleh nggak?
Kirun   :   Hiiiiih.. nggak boleh Yookkkkk‼
Bagio   :   Kalau "ngacok"?
Kirun   :   Sama aja, nggak boleh.
Bagio   :   Jadi gubernur kok susah amat, Run. Nggak jadi saja lah..
Kirun   :   Lho, kok nggak jadi gimana? Pejabat itu harus bisa menahan diri. Ngomong yang santun, bertutur yang halus supaya tidak melukai perasaan warganya…
Bagio   :   Lha misuh itu mengikuti jiwa seni. Kalau ketemu sama manusia-manusia yang njelehinya gak mupakat, mosok nggak boleh misuhi jancok? Kan sesuai peruntukan. Ibarat mau melubangi batu ya harus pake bor, bukan bulu ayam..itu namanya mengkilik-kilik. Manusia njelehi wajib dipisuhi, bukan malah dipuji. Terakhir nih, Run, kalau aku jadi gubernur nanti, boleh nggak aku misuh jancok?
Kirun   :   Ngggaaak boleeeehh, Bagiookkk.. Nggak boleeehhh..
Bagio   :   Aku mundur aja, Run. Nggak bisa aku.. nggak bisa..
(Bagio pun akhirnya mundur dari pencalonan. Ia memilih mendukung calon yang sering berkata kasar pada para preman dan maling anggaran. Baginya, misuh adalah bagian dari ekspresi atas jiwa seni. Jika sesuai peruntukan, misuh adalah bagian dari ketegasan.)
--
Catatan
misuh = memaki/mengumpat
kacek = selisih/beda
kerengan dhewe = bertengkar sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H