Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Alasan Mengapa Tempe Dimaknai Inferior

13 September 2013   01:24 Diperbarui: 23 Oktober 2015   08:42 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa tak kenal tempe, makanan rakyat berprotein tinggi itu? Sejak zaman kerajaan-kerajaan dulu atau kalau dalam dunia GAME boleh dikatakan sebagai the Age of Mithology, tempe sudah dikenal luas sebagai lauk yang banyak digemari segala kalangan. Dari kelas petani buruh yang tak punya sawah hingga para tuan tanah, pejabat negara, pangeran, dan bahkan raja pastilah kenal rasa gurihnya tempe. Produk olahan berbahan dasar kedelai ini benar-benar telah menjadi makanan budaya dalam masyarakat nusantara.

 [caption id="attachment_278410" align="alignnone" width="474" caption="Tempe    ©gallery.psvege.com"][/caption]

Meski relatif murah harganya yang terjangkau semua kalangan, tempe memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Namun, karena murahnya itulah tempe kadang diasosiasikan dengan sesuatu yang murahan, sepele, dan lain sebagainya yang menunjukkan sifat inferior. Presiden pertama kita dalam salah satu pidatonya bahkan sempat mengatakan "Jangan jadi bangsa tempe". Dalam hal ini jelas tersirat bahwa tempe (telanjur) diberi konotasi yang kurang baik. Berbagai penelitian yang mengungkap segudang "kehebatan" baik dari segi nilai gizi maupun kemudahan memproduksinya tetap tak kuasa mengubah istilah tempe menjadi berkonotasi positif.

Jika kita telaah secara santai dengan pikiran jernih, akan terlihat bahwa buruknya konotasi tempe itu sebenarnya tak dapat dipisahkan dari keberadaan sepupunya yang bernama tahu. Salah kalau kita menganalisis buruknya konotasi itu dengan membandingkan tempe dengan daging atau telur. Sekali lagi kuncinya adalah sepupunya yang bernama tahu itu. Sepupu yang namanya seakan sengaja diantonimkan dengan si tempe tadi. Bagaimanakah ceritanya? Ini berhubungan dengan keilmuan.

 [caption id="attachment_278412" align="alignnone" width="500" caption="Tahu  ©palembangnews.com"]

13790096051490925787
13790096051490925787
[/caption]

Misalkan ada sepotong tahu goreng dan sepotong tempe goreng, mana yang Anda pilih? Memilih tempe karena merasa sudah tahu, atau tidak memilih tempe karena ingin tahu? Memang, pertanyaan-pertanyaan itu menggiring opini untuk menyatakan bahwa yang memilih tempe berarti tidak tahu; kalau merasa tahu berarti hanya sok tahu. Namun, itulah faktanya. Jadi, yang tidak tahu dan hanya sok tahu itu tentu tempe (pilihannya). Lagi-lagi tempe jelek namanya. Mari bandingkan dengan yang memilih tahu.

Yang memilih tahu biasanya merasa belum tahu tetapi ingin tahu. Keingintahuan merupakan pangkal pengetahuan yang akan menjadikan kita orang berilmu, bukan orang bodoh; menjadikan kita manusia (yang) tahu, bukan manusia tempe.

Presiden pertama kita memang orator ulung. Ajakan dan imbauannya pada kita sangat mengena. Sayangnya, motivasi supaya jangan menjadi bangsa tempe sepertinya tak mungkin dipenuhi oleh rakyat Indonesia. Kalau soal ini alasannya bermula dari keberadaan sebuah peribahasa yang juga berhubungan dengan ilmu dan kecerdasan, yaitu: lubuk akal tepian ilmu. Artinya kurang lebih adalah: orang berilmu adalah tempat kita bertanya. Lubuk akal semisal orang berilmu, kalau untuk skala sebuah bangsa (bukan hanya seorang), lubuknya kita perbesar skalanya menjadi danau. Sekarang mari telusuri nama-nama danau di Indonesia. Adakah danau yang namanya menunjukkan sebuah sifat "berilmu"? Kok sepertinya tidak ada. Tidak ada nama danau yang berhubungan dengan sifat berilmu atau berpengetahuan; tak ada Danau Tahu, yang ada malah Danau Tempe di Sulawesi Selatan. Bagaimana bangsa Indonesia bisa berpengetahuan kalau hanya punya Danau Tempe, tak punya Danau Tahu?

Konon, pada zaman dulu di masa ejaan lama di mana huruf "U" diwakili oleh "OE", di Indonesia sebenarnya ada juga danau bernama Tahoe. Danau inilah yang menyeimbangkan energi Danau Tempe sehingga dimungkinkan tercapainya harmonisasi kecerdasan bangsa. Celakanya, kesombongan Presiden Soekarno yang memaki-maki Amerika dengan slogan "Go to hell with your aid" berujung pada sebuah konspirasi Amerika-Zionis yang berhasil melakukan rekayasa mahaculas mencuri Danau Tahoe milik Indonesia dan memindahkannya ke Nevada-California. Danau Tempe pun tak punya saingan penyeimbang. Bangsa Indonesia tak menyadari hal itu karena sedang terbuai dengan api-api orasi presidennya.  Alhasil, akar logika dan pengetahuan bangsa tercerabut hingga ke akar-akarnya. Jadilah bangsa ini bangsa yang tidak tahu, hanya jadi bangsa tempe. Orang-orangnya cenderung tak mau tahu, maunya tempe. Nggak masalah kalau tidak tahu, yang penting masih ada tempe. Kalau nggak ada tempe, barulah tahu-tahu mereka ngamuk.

Begitulah, akhirnya pengetahuan yang menjiwai sifat tahu itupun hilang dari benak bangsa. Sudah lupa bangsa Indonesia kalau dulunya pernah punya Danau Tahoe. Sudah lupa mereka betapa pentingnya peranan Danau Tahoe dalam menjaga kestabilan atmosfer logika. Yah, mau bagaimana lagi. Untuk membalas-curi hingga danau itu kembali ke pangkuan negeri sepertinya tak mungkin lagi. Sukrosono yang dulu sukses membantu Soemantri memindah taman Maerakaca sekarang sudah tak mungkin lagi dimintai bantuan energi.

Solusi satu-satunya adalah membuat lagi sendiri. Kita perlu sebuah danau atau waduk yang masih mungkin dinamai kembali. Kita namai itu Danau Tahu. Dengan demikian, aura mistis Danau Tempe yang eksotis diharapkan tak lagi melabilkan intelegensi anak negeri sehingga kita siap menjadi Bangsa yang TAHU!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun