"Siiitt..teplak!"
Wuaduh..jepit sandalku putus bagian depannya. Bagaimana ini? Berlagak cuek, aku tetap berjalan sambil kakiku menyeret sandal yang putus jepitnya. Aku duduk dan mengamati hidangan makan siangku sambil merenung. Apakah pilihanku tadi salah sehingga sandalku putus jepitnya? Haruskah aku tadi memilih kepala tuna asam padeh saja?
Kuamati bungkus pepes ayam di piring. Biasanya, daun pisangnya dikunci dengan lidi alias biting, tetapi kali ini penguncinya lebih besar dan terbuat dari kayu atau bambu menyerupai tusuk gigi. Wah, lebih kuat ini. Lah? Sontak aku ingat jepit sandalku. Kulolos biting bambu di bungkus pepes itu, kuambil sandalku yang putus jepitnya, kupasang lagi jepitnya ke lubang sandal, lalu kutusukkan biting pepes sebagai pengganjal.
BLESSH!
Aha.. mudah sekali. Sandal jepitku berfungsi lagi. Aku terhindar dari engklek dari kantin ke kantor. Aku geli sendiri. Mungkin ini rahasianya kenapa aku tadi seperti "diarahkan" untuk memilih pepes ayam. Ternyata biting pada bungkus pepesnya dapat menolong memperbaiki sandalku yang akan putus beberapa saat kemudian. Siapa tadi yang mengarahkan aku? Tuhan-kah? Aku merinding.
Entah apa jadinya jika tadi aku memilih kepala tuna asam padeh. Bisa-bisa aku telanjang kaki balik ke kantor nanti. Alamat musti pinjam sandal orang buat wudu untuk salat duhur di musala. Eh, sebentar. Secara teori butterfly effect, kalau aku memilih kepala tuna, belum tentu juga sandalku putus jepitnya, kan? Ah, entahlah. Aku lapar. Mau makan dulu. Dibanding tuna asam padeh, pepes ayam si Uni tak kalah yummy, dimasak pakai panci presto, edible sampai tulang-tulangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H