Cukup menghibur jika kita mengikuti berbagai ujaran maupun pernyataan dari kubu yang sedang mengajukan penyelesaian sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres) 2019 ini. Kubu pasangan calon (paslon) 02 atau kubu 02 atau kubu non-petahana atau kubu oposisi atau kubu Prabowo-Sandi atau BPN, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memenangkan paslon 01 atau kubu petahana atau kubu Jokowi -- Maruf Amin atau kubu TKN dengan selisih belasan juta suara digugat oleh kubu 02.Â
Dengan dalih adanya indikasi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan kubu 01, kubu 02 menuntut MK agar memenangkan paslon yang mereka usung dengan cara mendiskualifikasi paslon 01. Jika hal itu tidak dipenuhi, kubu 02 menuntut dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU).
Oleh karena selisih belasan juta bukanlah jumlah yang sedikit yang artinya sangat sulit untuk dibuktikan ketidavalidan-nya (jika ada), maka kubu 02 pun melakukan perang opini dengan mengatakan kalau MK jangan jadi mahkamah kalkulator. Â
Pemilihan terminologi "mahkamah kalkulator" ini tentu saja bukan sekadar mengindikasikan opini agar MK tidak hanya mengadili perhitungan angka suara dalam sengketa pilpres. Pemilihan terminologi itu juga mencocokkan singkatan MK dengan plesetan-nya, MK = Mahkamah Kalkulator.
Terminologi itu pun ternyata memiliki tendensi khusus yang baru ketahuan setelah beberapa kali sidang. Hal ini berhubungan dengan metode penetapan pemenang pilpres 2019 yang menggunakan perhitungan manual berjenjang. Jelas, dengan perhitungan manual semacam itu, alat bantu berupa kalkulator pun cukup, bahkan meski kalkulator itu hanya mampu melakukan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian saja. Kalkulator bakul beras kalau istilah populernya di Jawa. Iya. Perhitungan suara secara manual cukup dilakukan dengan itu.
Memang, sebenarnya sederhana. Perhitungan suara secara manual berjenjang di mana dalam setiap jenjang dilakukan koreksi yang disahkan bersama sesuai kesepakatan berbagai pihak itu cukup dilakukan dengan bantuan kalkulator bakul beras yang tidak memiliki fitur sinus, cosinus, tangen, maupun fungsi statistik atau sebangsanya. Mudah. Sekali lagi: mudah.Â
Kubu BPN yang berusaha membuatnya jadi terlihat rumit. Yaitu dengan menggiring opini menggunakan isu-isu teknologi informasi atau IT (information technology). Lucunya, prosedur perhitungan suara secara manual berjenjang tidak terlalu memerlukan kecanggihan IT. Seperti yang saya tulis berulang-ulang di atas, kalkulator pun cukup.
Maka yang diserang habis-habisan adalah situs web Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara) KPU, situs web yang meski isinya dinolkan semua pun tidak menghalangi keberhasilan perhitungan suara secara manual berjenjang. Karena Situng KPU itulah yang memiliki konten IT meski alasan utama dibuatnya sekadar untuk memudahkan masyarakat dalam memperoleh informasi Pemilu 2019, bukan sebagai hasil penghitungan resmi KPU.
Berbagai opini dibuat untuk mendelegitimasi Situng KPU, baik secara teknis, kevalidan, sekuriti, dan lain-lainnya. Pokoknya diserang segala aspeknya dengan menggunakan argumen-argumen bermuatan IT. Sementara hasil perhitungan secara manual berjenjang tidak digugat keabsahannya meski hasilnya tak jauh beda dengan Situng KPU. Di sini saya merasakan keanehan. Seakan diingatkan dengan terminologi straw man fallacy yang sempat ngetren di Kompasiana enam tahunan silam.
Berikut ini saya kutipkan pengertian straw man (fallacy) dari situs web yourlogicalfallacyis.com: