Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Vonis Ahok Bukti Indonesia Darurat Kebahasaan

17 Mei 2017   09:59 Diperbarui: 17 Mei 2017   10:44 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: aiwa.web.id

Kasus Ahok melibatkan "kemarahan" banyak orang. Itu fakta. Hanya saja, andai terpaksa menjawab jujur tentang alasannya, satu orang dan yang lainnya bisa saja berbeda-beda pengakuannya meski berada di kubu yang sama. Tak mengherankan jika analisanya melebar ke mana-mana. Tapi saya membatasinya menjadi 3 saja, saya batasi aspek yang tercantum dalam syair lagu Satu Nusa Satu Bangsa karya Liberty Manik saja.

Oleh karena kasus Ahok mendorong polemik tentang rasa cinta tanah air (nusa) dan kebangsaan tanpa kesudahan, saya membidik satu aspek "sisanya" yang seakan sengaja dilupakan, yaitu aspek bahasa. Meski saya sebut "sisa", aspek ini sejak awal menurut saya justru menjadi penyebab utama dan paling fatal akibatnya.

Berawal dari Bahasa
Masalah yang menjerat Ahok berhasil dari ucapan Ahok di Pulau Pramuka. Ucapan itu oleh seorang "pakar" komunikasi berinisial BY dikorupsi satu kata sehingga menyimpang dari esensi awalnya, lalu transkripnya disebarkan sedemikian rupa sehingga menyulut kemarahan masyarakat dan berujung pada tuduhan penistaan agama.

Dengan membaca transkrip editan tersebut masyarakat terprovokasi dan spontan membenci Ahok, menganggapnya menista agama, dan memusuhinya. Akibatnya, meski kemudian BY mengoreksi transkripnya karena ketahuan kebohongannya, masyarakat sudah telanjur memusuhi Ahok.

Mudah dipahami bahwaucapan seseorang bisa saja diartikan lain (dari maksud sebenarnya) oleh orang yang sudah berprasangka negatif sebelumnya.

Celakanya lagi, kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar masyarakat kita "sangat rendah" sehingga tidak memungkinkan untuk memverifikasi sendiri esensi asli dari ucapan Ahok tadi secara sportif (ilmiah). Di sinilah para politisi mulai bermain dengan memperalat "tokoh-tokoh" yang dianggap sehaluan untuk memperkuat tuduhan dan menggalang dukungan. Masyarakat yang telanjur benci dan memusuhi Ahok akhirnya percaya saja kalau pakai kata "pakai" dan tidak pakai kata "pakai" sama saja artinya. Pokoknya, intinya, Ahok menista agama.  

Prasangka dalam Menafsirkan Ucapan
 Satu hal yang hingga kini masih menjadi opini saya adalah bahwa: ucapan Ahok hanya mungkin dianggap menista agama oleh orang-orang sebelumnya telah telanjur memiliki prasangka negatif padanya. Prasangka negatif inilah yang berhasil diinisiasi dan ditanamkan pada masyarakat oleh si BY dengan menyebarkan transkrip  editan yang menghilangkan satu kata pentingnya di media sosial.

Selanjutnya, seperti telah diketahui bersama, majelis hakim yang mengadili kasus Ahok memilih untuk memakai semua keterangan ahli yang memberatkan, khususnya ahli bahasa (Inggris?) yang dihadirkan pihak jaksa penuntut. Saya katakan "memilih", karena dalam putusannya saya tidak jelas menemukan adanya "verifikasi internal" oleh majelis hakim soal kebahasaan dari ucapan Ahok yang dipermasalahkan. Tinggal pilih saja dan benarkan semua keterangan ahli bahasa yang diinginkan sejak awal dan abaikan semua keterangan ahli bahasa yang tidak mendukung kecenderungan arah putusan. Mohon maaf jika saya katakan bahwa dalam hal ini majelis hakim seakan mengesampingkan asas praduga tak bersalah. Mungkin karena ahli hukum tidak otomatis ahli bahasa sehingga kurang "mewaspadai" adanya praduga bersalah pada analisis/keterangan ahli bahasa.

Andai majelis hakim memiliki kemampuan bahasa Indonesia yang mumpuni, niscaya akan ada pengolahan informasi (di atas saya istilahkan "verifikasi internal") atas keterangan para ahli bahasa. Dan, dengan menerapkan asas praduga tak bersalah secara konsisten, saya yakin vonis Ahok akan berbeda dengan vonis 9 Mei 2017 itu.

Kasus Ahok ini sekaligus bukti bahwa untuk dapat (lebih) adil memutuskan perkara, majelis hakim pun perlu (wajib) dibekali kemampuan berbahasa Indonesia di atas rata-rata (bukan hanya mampu, tetapi harus mahir). Saya yakin tidak sulit karena kemampuan berbahasa Indonesia bisa diintegrasikan dengan segala bidang keahlian, termasuk bidang hukum. Konsekuensinya, para hakim harus mengikuti tes khusus kebahasa-Indonesiaan sebagai penunjang karirnya di lembaga peradilan. Salah satu tes penunjang kebahasaan yang dapat dipertimbangkan adalah UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia).

UKBI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun