Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rokok Nusantara Pernah Seharga Kebo

5 September 2016   13:41 Diperbarui: 5 September 2016   13:48 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com

Kabar bahwa harga rokok akan naik hingga lima puluh ribuan per bungkus menuai respon beragam. Kecenderungannya menyayangkan. Sebagian mengingatkan ancaman pengangguran, kemiskinan, serta bangkrutnya banyak perusahaan. Ada pula yang merilis prediksi akan munculnya kembali rokok lintingan buatan sendiri alias "tingwe" (nglinting dhewe = melinting sendiri).

Saya bukan bermaksud ikut-ikutan menganalisis rencana kenaikan harga rokok yang kata sebagian orang terlalu menohok. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa rokok super mahal itu pernah terjadi di zaman Mataram. Maka ajaran Jawa "aja gumunan" atau "jangan mudah heran" terasa relevan.

Rokoknya disebut rokok Roro Mendut, sesuai nama penjual yang sekaligus SPG-nya. Roro Mendut gadis sederhana, tetapi cantik jelita untuk ukuran saat itu. Pelanggannya para pemuda, bapak-bapak, hingga kakek-kakek lanjut usia.

Meski semua pelanggannya pria, Roro Mendut sangat menjaga dirinya. Dalam batas-batas tertentu, maksud saya. Karena kalau saya katakan Roro Mendut berjilbab setelah bertemu Laksamana Ceng Ho, pasti bakal kena pasal anakronisme wacana.

Sebagai bentuk penerapan teknik marketing, Mendut yang berbibir tipis menggemaskan itu tak jarang mengisap rokok juga. Hal ini yang menjadikan para pria tergila-gila untuk merokok bersamanya. Karena saat sama-sama mengisap rokok, bibir mereka merasa seakan bertemu dengan bibir Roro Mendut, meski rokoknya beda. Berfantasi mah bebas-bebas saja, kan?

Berfantasi itu nikmat, tapi kalau fantasinya sama terus, lama-lama bosan juga. Maka satu dua orang pelanggan memberanikan diri membuat terobosan. Mereka menginginkan rokok yang sama dengan yang diisap Roro Mendut. Sebagai kompensasi, mereka mau membayar berapapun yang diminta. Pucuk dicita ulam tiba. Roro Mendut yang sedang dikejar target pendapatan untuk melunasi upeti permintaan Tumenggung Wiroguno senapati Mataram, merasa menemukan jalan. Upeti itu harus segera dibayar dan kalau tidak, ia harus menjadi selir sang Tumenggung yang kesekian.

Mendut telanjur setia pada Pranacitra kekasihnya. Lagipula Tumenggung Wiroguno sudah terlalu tua baginya. Mendut memilih membayar upeti saja sebagai balasan atas jasa tumenggung itu membebaskan dirinya dari cengkeraman Adipati Pragola di Kadipaten Pati. Pendek kata, Mendut itu ibarat lepas dari mulut harimau tapi masuk ke mulut buaya. Namun, Mendut merupakan wanita yang berpendirian kuat. Ia lebih memilih membayar upeti daripada menyerah untuk dinikmati.

Maka meski agak jengah, Mendut pun menyetujui usulan pelanggan yang ingin membeli rokok "bekas" isapannya. Memang agak aneh. Apalagi justru para pelanggan itu yang menentukan harganya. Rokok yang pernah dijepit bibir tipis Roro Mendut dihargai puluhan kali lipat rokok normal. Biasa, persaingan gengsi di antara lelaki. Mereka yang mampu membeli dengan harga paling tinggi merasa terlihat paling gentleman di hadapan Roro Mendut.

Tabungan Mendut pun sudah lebih dari cukup untuk membayar upeti. Namun pertarungan gengsi di kalangan pelanggan rokoknya terus berlanjut ekalasinya. Kalau semula asalkan ada bekas bibir Mendut sudah sah "dilelang", sekarang para pelanggan memperhitungkan durasinya. Makin lama rokok itu dinikmati Roro Mendut sebelum dilelang, makin mahal harganya. Dengan kata lain, makin pendek puntungnya, justru makin mahal harganya, bahkan hingga seharga kebo kisarannya.

Kalau dilanjutkan, saya khawatir para pelanggan akan memperebutkan sisa tembakau yang masih berada di mulut Roro Mendut dan mengambilnya pun maksa mau pakai mulut. Maka demi keamanan dan ketertiban serta keselamatan Roro Mendut, cerita ini saya akhiri di sini saja.

**

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun