Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perlawanan Fahri Hamzah Ibarat Wacanakan Anggota DPR Jalur Independen

27 April 2016   23:30 Diperbarui: 27 April 2016   23:50 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara hakikat – hakiki – maupun makrifat, para anggota dewan (DPR) adalah samurai bagi partainya masing-masing. Memang ada yang mengaku samurai bagi rakyat, tapi yang dimaksud tentu rakyat yang separtai dengannya dan kebetulan menduduki posisi teras partai secara hirarki. Nasib para anggota dewan bergantung pada partai masing-masing. Toh, mereka dikirim ke Senayan atas rekomendasi partai untuk menjalankan tugas suci nan mulia versi partai mereka juga.

Mungkin banyak orang akan bangga disebut samurai. Kesannya memang keren. Padahal sebutan samurai itu bukan sekadar menunjukkan citra diri yang gagah, tangguh, dan ksatria. Titel samurai yang melekat pada seseorang menunjukkan bahwa orang itu memiliki tuan, ia bekerja pada seseorang, biasanya pada daimyo atau tuan tanah. Soal kesetiaan tidak perlu dipertanyakan. Samurai sangat setia pada majikannya. Jika gagal dalam tugas penting, seppuku alias hara-kiri tebusannya. Namun, bagaimana ceritanya kalau samurai membelot?

Seorang samurai bisa saja membelot. Terutama saat menyadari bahwa ia sendiri memiliki idealisme yang berbeda dengan tuannya. Itu kemungkinan gagahnya. Kemungkinan lain adalah si samurai dipecat karena dianggap tidak lagi bermanfaat. Kalau dipecat, sebenarnya istilah membelot tak lagi tepat karena sudah terlambat.

Seorang samurai pastinya memiliki semangat bushido. Jika majikan sudah memecat, tanpa berpikir dua kali ia akan segera angkat kaki, membalikkan badan, lalu berjalan menjauh sambil memunggungi. Bahkan, sangat mungkin mereka menolak untuk menerima gaji meski diberi. Kehormatan dan harga diri mereka tidak bisa ditebus dengan materi. Lantas apa hubungannya dengan Fahri Hamzah?

Jika dianalogikan sebagai samurai, Fahri Hamzah sudah mantan. Partai Keadilan Sejahtera, daimyo majikan Fahri Hamzah, sudah memecatnya. Adalah sangat lucu jika Fahri masih ngotot memangku jabatan wakil rakyat dari jalur Partai Keadilan Sejahtera yang sudah tidak lagi mengakuinya. Lalu, Fahri Hamzah mewakili siapa? Rakyat independen? Apa ada anggota DPR dari jalur independen? Kalau tidak ada, sebaiknya tidak diada-adakan. Fahri Hamzah sebaiknya segera (diminta) keluar dari (keanggotaan) Senayan demi kemaslahatan. Kalau menolak dan melawan, itu memang haknya; sah-sah saja dia gunakan. Biar saja ia mengulur waktu dilama-lamakan, asalkan gaji, bonus, dan tunjangan baginya dihentikan. Uang rakyat harus diselamatkan. Jangan dipakai untuk membiayai politikus yang iman-nya tinggal sebagian; karena rasa malunya sudah tergadaikan. Tapi, sebenarnya ia tak perlu disadarkan. Ia sudah sadar statusnya sekarang ronin alias samurai tak bertuan. Makanya berkelana mencari majikan; memilih daimyo yang akan memberinya harta dan kedudukan.

Eh, nanti dulu. Yang di Senayan bukan samurai betulan. Cuma bohong-bohongan. Samurai betulan bersenjatakan katana alias pedang. Samurai Senayan bersenjatakan katanya alias omongan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun