Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menonton Ajaran Move On ala Presiden Jokowi

18 Januari 2015   19:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:52 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini alur cerita politik ibukota bak drama klasik Korea era Joseon. Kepala pemerintahan dan sebagian lembaga penyokong berjalannya fungsi negara seakan sama-sama memendam bara dalam sekam, menghunus senjata dalam diam. Sama-sama menunggu waktu untuk menyerang, sama-sama memilih jurus yang tepat untuk melempar maupun menghindar.

Sayangnya, semua itu sebenarnya bagusnya buat tontonan, bukan dipraktikkan untuk dijadikan kenyataan. Karena drama yang bagus mensyaratkan keberadaan konflik, dan dalam hal tertentu keberadaan penjahat menjadi wajib. Makin hebat konfliknya, makin seru tontonannya. Dan tampaknya, ada pihak yang sengaja mengadopsi skenario drama Korea semacam itu untuk menorehkan "nama diri" atau instansinya pada daftar "pihak terkuat".

Sepertinya perbedaan tekad untuk "mengurus" bangsa dan negara sejak pemilihan presiden 2014 tetap menjadi duri-duri kecil yang menghambat setiap langkah kemajuan pemerintahan. Benar. Harus dianggap duri-duri kecil karena memang sangat sulit diwaspadai, apalagi dihindari. Karena duri yang besar justru mudah ditebang atau dihindari.

Cukup dululah berbasa-basi. Sekarang mari urai menurut versi sendiri. Presiden butuh Kapolri, Presiden minta Kompolnas sodorkan rekomendasi. Presiden minta jaminan mutu, Kompolnas sodorkan daftar yang itu. Meski suka blusukan, bukan berarti Jokowi tak percaya bawahan. Putuskan langkah selanjutnya karena ada jaminan.  Presiden pilih satu lalu sodorkan ke DPR RI. Meski tahu kalau calon yang diajukan itu 'terindikasi' korupsi karena pasti semuanya punya tivi, DPR tetap setujui secara aklamasi.

Seakan tak mau melepas buruan korupsi, KPK tetapkan si calon sebagai tersangka. Gengsi kalau stabillo yang pernah ditorehkan tidak dihargai. Slogan bahwa "KPK tak pernah salah" harus ditegakkan kembali. Karena warna stabillo merah dan kuning itu setara vonis setengah mati.

Maka jadilah Presiden Jokowi seakan berdiri di atas menhir politik yang berduri. Semua orang dapat melihatnya. Sebagian menyiapkan tombak dan panahnya. Ada yang bilang Jokowi tersandera. Ada yang bilang Jokowi kalah cendekia oleh musuh politiknya.

Kita lihat saja. Jokowi bukan "joko-why".(nb: "why" itu lafal sebuah huruf dalam bahasa Inggris). Ia tak curcol di konferensi pers. Cenderung mencoba mengatasi masalah secepatnya, tak hobi sediakan waktu untuk ber-prihatin-ria seperti-seolah -seakan kehidupan berbangsa dan bernegara harus terhenti dulu saat itu untuk menunggunya move on.

Pemimpin pastinya banyak urusannya. Seperti "celoteh" Habibie di Mata Najwa saat diminta menanggapi cerita Budiman Sujatmiko yang "terkesan" menolak saat akan dibebaskan dari status tahanan politiknya. Habibie ingin membebaskan semua tahanan politik saat itu, sementara Budiman Sujatmiko menantangnya berpolemik. "Ah.. itu sih terserah Anda. Saya masih punya banyak urusan lain." Kurang lebih seperti itu ucapannya. Bukankah itu senada dengan slogan "Bukan urusan saya" untuk hal-hal yang memang bukan di jalur rencana?

Oke. Kita lihat pelajaran "move on" dari Presiden Jokowi. Kita tonton cara Presiden Indonesia itu mengatasi kegalauan politik seputaran masalah istana. Sebagai warga negara berakal sehat, tentu saja saya akan mendukungnya secara moral. Orang gila mana yang bangga mengkhianati presidennya? Bangga pada siapa, ha?

O, iya. Tentang Pak Sutarman, mungkin Pak Jokowi justru ingin menyelamatkannya sambil membuktikan kemampuan kontrolnya atas pemerintahan. Isu dan aksi semacam "boikot" terhadap penunjukan dan pengangkatan Kapolri baru itu tidak berhubungan dengan akan tetap menjabatnya Pak Sutarman. Kalaupun ada, Jokowi menepis "harapan" pihak yang terkesan mendiktenya itu dengan memberhentikan Pak Sutarman dengan hormat.

Sudah. Saya sudah menuliskan catatan positif saya. Apakah saya pemuja Jokowi? Nggak juga. Yang jelas, saya bukan kelompok pemuja malaikat "Rakib" itu yang kerjanya sehari-hari cuma mencatat amal buruk orang sambil mengagungkan atribut berupa kaos seragam kebersamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun