Â
Pada 19 Januari lalu, ribuan warga menyerang permukiman Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Desa Moton, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Â Massa membakar pemukiman warga yang dihuni sekitar 700 anggota Gafatar itu. Penyerangan ini dilakukan warga sekitar lantaran warga sekitar sudah mulai terusik dengan pemberitaan gafatar yang diindikasikan sesat, Massa makin beringas, penyerangan dan pembakaran berlangsung hingga petang. Penghuni yang juga terdiri dari nenek-nenek dan anak-anak hanya bisa berlarian sambil menangis.
Akibat dari pembakaran ini ratusan warga eks gafatar terlantar dinegeri sendiri, mereka terusir dari kalimatan barat dan lebih parahnya lagi sebagian dari mereka ditolak oleh warga kampungnya sendiri, sejumlah pihak saling adu pendapat tentang nasib eks warga gafatar ini, masalahnya memang bagai benang kusut, pemerintah mengambil tindakan cepat dengan memulangkan para pengungsi ini ke daerah asalnya masing-masing, sementara itu beberapa lembaga hak asasi manusia menyatakan pemerintah telah melanggar Ham karena telah memulangkan pengungsi eks gafatar ini.
Gafatar memang minggu-minggu ini jadi pembicaraan hangat di negeri ini, jika kita amati  gafatar ini sebenarnya mulai naik dauin sejak pelajar SMA bernama Ahmad Kevin Aprilio menghilang bersama ayahnya pada 26 November 2015. Sebuah surat ditemukan sang ibu, Yunita, yang berisi agar Kevin segera menentukan sikap karena waktu akan terus mengejar. Semenjak kasus hilangnya Kevin mencuat, satu per satu laporan orang hilang mulai terangkat ke publik. Semuanya terkait dengan organisasi yang dibina oleh Ahmad Mosshadeq tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun berbagai media, sudah ada 164 orang yang dilaporkan hilang dan diduga terkait Gafatar. Data dihimpun dari pemberitaan di media massa selama ini. Jumlah itu bisa saja lebih besar karena banyak kasus yang tidak terangkat ke media. Mereka yang hilang berasal dari beragam kalangan, mulai dari pelajar SMP, pelajar SMA, mahasiswa, pegawai, ibu rumah tangga, hingga pegawai negeri sipil.
Berdasarkan banyak sumber, baik dari Gafatar sendiri maupun yang lain, hampir bisa dipastikan Gafatar adalah kecambah baru (offshoot) dan proliferasi dari paham dan gerakan yang nyaris sama-dan-sebangun di masa sebelumnya. Gafatar adalah transformasi dari atau berkaitan dengan Al Qiyadah al Islamiyah pimpinan Ahmad Mussadeq yang ditetapkan sesat dalam fatwa MUI Pusat (4 Oktober 2007). Pada 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara atas Mussadeq karena terbukti melakukan penodaan agama.
Sebelumnya Mussadeq diketahui adalah figur penting Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah (NII KW) IX. Mendirikan Al Qiyadah al Islamiyah yang kemudian menjadi organisasi terlarang, Mussadeq selanjutnya menjadi penasihat Gafatar dan narasumber dalam berbagai acara para pimpinan dan anggota Gafatar di sejumlah tempat Indonesia.
Dalam ajarannya, kelompok Gafatar tidak mewajibkan shalat lima waktu, tidak mewajibkan puasa ramadhan, tidak mewajibkan zakat, tidak mewajibkan haji bagi yang mampu, tidak mengakui hadis sebagai pedoman mereka, tidak mengakui nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, mengganti assalamu ‘alaikum wr. Wb dengan salam damai sejahtera, syahadat berbeda dari sahadat ajaran islam, tidak wajib shalat berjamaah di mesjid.
Saat ini suasana sosial-keagamaan di Indonesia cukup rentan bagi muncul dan berkembangnya kultus baru semacam Gafatar. Kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang terus mengalami perubahan dapat menjadi lahan subur bagi sosok maupun kelompok tertentu yang menawarkan "jalan pintas" pada orang atau umat beragama untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian di dunia ini dan di akhirat kelak.
Jalan pintas tentunya kurang baik, terlebih jalan pintas dalam urusan keagamaan, Untuk itu, pemerintah harus lebih proaktif dalam menyikapi munculnya kelompok agama, terutama kelompok agama yang dapat menimbulkan gangguan terhadap kehidupan agama dan sosial. Namun sebenarnya yang tak kalah pentingnya juga terkait dengan nasib ratusan eks gafatar ini, UU menyebutkan warga negara berhak tinggal dimanapun yang dia suka, maka dari itu pemerintah jangan hanya focus memikirkan tentang aliran sesat itu namun pemerintah harus juga serius focus dalam hal pengungsi eks gafatar ini karena biar bagaimanapun mereka adalah anak bangsa dan saudara sebangsa kita.
Â