Mohon tunggu...
giwang dinar
giwang dinar Mohon Tunggu... Lainnya - halo!

semoga apa yang saya tulis dapat mendeskripsikan siapa saya dan apa yang saya rasakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menghargai Perempuan

29 Mei 2024   20:03 Diperbarui: 29 Mei 2024   20:10 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepingan embun pagi membasahi jendela kamar, ini adalah kebetulan yang aku harapkan di setiap hari libur tiba. Hembusan angin menyetuh sekujur badan dengan lembut sesaat setelah aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah. Awan mendung beserta angin lembut yang mengisi pagi, membuat aku menjadi sangat bersemangat untuk menjalani kebiasaan yang sudah melekat saat aku tujuh belas tahun. 

Namaku adalah Kemal Rahadi, aku adalah seorang pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SMA yang tak jauh dari rumah. Bagiku, hari yang paling menyenangkan adalah hari libur, selain hari itu semuanya sangat membosankan bagiku, bangun tidur, mandi, berangkat sekolah, pulang sekolah, lalu kembali tidur. Terulang terus menerus dan mau tidak mau harus aku jalani hingga aku lulus nanti.

Meskipun begitu, ketika tanggalan yang berada di handphone menunjukan hari sabtu atau minggu, segala hal yang aku lakukan menjadi sangat menarik dan aku akan merasa menjadi pemeran utama dalam sebuah film. Di saat pagi, aku akan berlari memutari taman dekat rumah selama dua puluh kali. 

Hal itu membuat sekujur badanku basah akan puluhan ribu keringat yang muncul dan membuat aku menjadi bau sampah. Sering aku melihat seorang yang menutup hidungnya ketika aku berjalan pulang setelah lari -- larian seperti orang gila. Namun tak apa, toh juga aku tidak peduli.

Setelah menjalani rutinitas yang melelahkan, aku segera pergi menyejukan badan dan bersiap membaca semua buku yang belum sempat kubaca di rak ruang tamu keluargaku. Aku adalah anak terakhir dari kedua kakak perempuan, yang paling tertua bernama Ka Hilma, dan yang tengah bernama Ka Ayu. 

Mereka adalah teropong hidup bagiku hingga saat ini, mengigat Bapak yang sudah tiada semenjak aku berumur tiga tahun, merekalah yang paling berpengaruh bagiku setelah Ibu. Ka Hilma dan Ka Ayu sangat menyukai membaca buku, mereka memiliki selera baca yang jauh berbeda. Tetapi ketika membaca bacaan mengenai perempuan, mereka menjadi kompak berpatungan dan bergantian membaca. 

Pernah kali itu Ka Ayu memberikan novel yang berjudul Little Women karya Louisa May Alcott yang bercerita tentang perjalanan empat gadis sejak mereka masih kanak -- kanak hingga dewasa. Semula, aku ogah -- ogahan menolak membaca buku itu karena judulnya yang terlalu perempuan, saat itu pembahasan mengenai masalah perempuan sangat tidak menarik bagiku. Hingga akhirnya, hari ini aku memutuskan untuk mulai membaca buku itu.

Lama aku membaca buku tebal itu, hingga akhirnya selesai saat jarum jam menujukan angka enam petang. Saat itu juga pandanganku mengenai perempuan menjadi terbuka lebar. Aku baru menyadari, ternyata menjadi perempuan adalah persoalan yang pelik, menjalani hari sebagai perempuan saja sudah sulit karena adanya deskriminasi, apalagi dalam dunia pendidikan dan dunia kerja. 

Keinginan untuk membaca puluhan buku lain mengenai perempuan membuat aku berdiri meneliti puluhan judul buku yang segera akan aku baca. Habis Gelap Terbitlah Terang, ini adalah terjemahan buku, Dorr Duisternis Tot Licht karya R.A Kartini, yang mana aku tau bahwa Kartini adalah pahlawan perempuan Indonesia. Akhirnya aku tenggelam menyusuri buku itu.

Aku memahami ternyata tekanan menjadi perempuan berkali -- kali lipat dibandingkan tuntutan hidup lelaki, yang aku tahu kebanyakan dari mereka menjadikan perempuan sebagai objek kepuasan pribadi. Aku tak kuasa membayangkan bagaimana nasib perempuan yang tidak memiliki kedudukan di zaman sebelum Kartini memperjuangkan hak perempuan seperti sekarang. 

Salah satu hal yang saat itu membuat perempuan menjadi gelisah adalah jika sudah waktunya untuk dipersembahkan, yang artinya sudah waktunya mereka menyerahkan nasib pada lelaki tanpa bisa menolak karena tuntutan di zaman itu. Mengetahui itu semua, membuat aku membayangkan bagaimana jika perempuan itu adalah Ibu atau Ka Hilma atau Ka Ayu. Aku sangat berterimakasih atas perjuangan R.A Kartini meneriakkan hak perempuan di zaman dulu.

Perjuangan R.A Kartini membuat seluruh perempuan di Indonesia menjadi semerdeka hari ini. Bahkan sekarang perempuan bisa menjadi seorang mentri, gubernur, rektor, bahkan menjadi presiden. Perempuan memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya sama seperti lelaki, perempuan memiliki hak untuk melindungi dirinya sendiri dari puluhan lelaki yang tidak bertanggung jawab atas perlakuannya terhadap perempuan. Mulai saat itu aku menangguhkan diri untuk menghargai keberadaan perempuan, terlebih mereka adalah Ibu, Ka Hilma, dan Ka Ayu. Aku berjanji, di malam itu aku akan menjaga dan menyayangi mereka lebih dari pada diriku sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun