Beduk magrib berkumandang, suara bilal sayup-sayup terdengar dari jarak 350 meter dari rumah Aisyah. Hirup pikuk sorak sorai Dani dan Lukman terdengar di dapur.
“Allahummalakasumtu wa bika aamantu wa ala riskika aftartu birohmatika yaa arhamarrohimin” suara ayah terdengar serak parau, ini Ramadhan ke sepuluh keluarga ini bersama. “Aisyah ambilkan air buat ayah” seru ibu.
“ya bu” saut aisyah sambil mengenakan mukena putih pemberian Ust. Maulana guru ngajinya.
“alhamdullilah, kita jama’ah ya” suara ayah mengakhiri buka sederhana ini, ayah hanya berbuka dengan 3 buah kurma dan segelas air putih seperti yang di Sunnahkan Nabi Muhammad SAW.
Suara riuh rendah pun lenyap dengan lantunan Surah Al-Baqarah ayat 183, Ayah membacanya hingga 5 ayat berikutnya, Aisyah, Ibu dan kedua adik lelakinya menjadi makmum di shof ke dua dan pertama.
“bu, Aisyah pamit tarawih, pulangnya agak sedikit lama, yang tadarusan sedikit bu” sama seperti malam-malam sebelumnya hanya suara Aisyah yang berkumandang di Mesjid bernama “Ar-Rahman” (Maha Pengasih) itu, anak remaja lain memilih untuk duduk dirumah sambil menikmati kecanggihan teknologi yang tidak dimiliki Aisyah.
“hati-hati Aisyah, jangan pulang terlalu larut bawa adikmu Dani dan Lukman” jawab ibu yang sedang melipat pakaian, karena usia biasanya ibu hanya tarawih berjama’ah dengan ayah di rumah, desa ini tidak seperti kota besar dengan jalanan beraspal dan lampu penerangan dimana-mana, di desa ini hanya ada pepohonan dan jalanan becek dikala hujan.
Aisyah gadis 23 tahun ini, tidak berparas secantik model Asia yang sedang ngetop. Ia hanya gadis desa berwajah bulat berkulit kecoklatan. Jika ia tersenyum terlihat gigi gisul disebelah kanannya, ia manis, suara ngajinya merdu tak heran kalau ia selalu menjadi Qori’ah di setiap acara keagamaan di desanya. Ia juga bukan terlahir dari keluarga terpandang melainkan gadis desa yang sederhana. Hari-harinya mengajar MDA dan mengajar ngaji anak-anak tetangga di rumahnya. Aisyah bukan lulusan sarjana, kemampuan ekonomi orang tuanya menuntun ia untuk bersyukur walau hanya sampai SMA.
Setiap hari Jum’at sore Aisyah menyempatkan dirinya untuk pergi pengajian Ust. Maulana. Selain guru ngaji Ust. Maulana juga guru spiritual Aisyah, mengajarkannya ilmu-ilmu agama yang tidak ia rasakan dibangku sekolah. Dari rambutnya yang terurai panjang hingga kini ia tutupi dengan kerudung sederhana.
Tak ada yang istimewa dari kehidupan Aisyah, tapi pria mana yang tidak menyanjung kegigihannya melewati kehidupan dengan orang tua yang telah uzur dan tidak punya penghasilan dengan dua adik yang masih di bangku sekolah. Semua orang menghormatinya, yang muda maupun yang tua memperlakukannya dengan sopan sebagaimana dengan anggunnya akhlak Aisyah.
Telah banyak yang datang ke rumah untuk meminang Aisyah sebagai pendamping hidup mereka tapi lagi-lagi ibu harus menjawab “ maaf putri saya belum berkenan” walau berat mulut ibu menjawab tapi itu semua keputusan Aisyah yang lebih memilih untuk berbakti kepada orang tuanya dan menyekolahkan kedua adiknya hingga sukses. Berat ibu menerima, berat lagi Aisyah yang memikulnya.
“nak, terimalah lamaran anak Pak Kades, ibu sudah lelah menolak, Ibu takut jika Aisyah nantinya tidak menemukan jodoh karena terlalu sering menolak lamaran, ibu masih sanggup berjualan kue untuk menyekolahkan Dani dan Lukman” ibu mencoba untuk membujuk Aisyah.
“bu, rezeki, jodoh, ajal semuanya Qadha’ dan Qadar dari Allah SWT, tak seorang pun yang bisa mengatur dan mengubahnya, beri Aisyah kesempatan untuk berbakti bu, Insyaallah atas Ridha Allah, Ibu dan Ayah, Aisyah akan menemukan jodoh yang lebih baik dari ini bu” Aisyah mencoba untuk membesarkan hati ibu yang akhirnya luluh, jika berbicara tentang agama Aisyah lebih darinya, ia hanya bisa menarik nafas dan berdoa yang terbaik untuk putrinya.
Bukan menolak begitu saja, Aisyah memiliki pertimbangan sendiri tentang anak Pak Kades, seorang pria yang terbiasa hidup di kota, kehidupannya glamor, banyak wanita mendekatinya. Di desa ini anak Pak Kades memang idola selain wajahnya tampan, putih dan tinggi, berpendidikan serta bekerja di perbankan.
Ditolaknya lamaran Pak Kades menjadi sorotan di masyarakat. Semua bibir membicarakannya ada yang sinis seperti ini “ dasar sombong, dilamar orang kaya seperti Pak Kades bisa-bisanya ditolak” adapula yang masih simpatik “ ahh aisyah anak yang baik tidak cocok dengan anak Pak Kades yang hidupnya hura-hura, kasian dengan Aisyah nantinya”.
Gunjingan-gunjingan pahit itu mewarnai Ramadhan Aisyah dan keluarganya. Keluarga ini hanya bisa pasrah dan ikhlas di caci maki, disindir dan di perolok-olokkan. Aisyah masih bisa tersenyum, walau kadang senyumnya dibalas dengan cibiran yang menyakitkan.
Tiga hari lagi lebaran, Aisyah sibuk merajut daun janur untuk ketupat, sebuah pesan masuk di ponselnya.
“assalamualaikum dek Aisyah, mungkin inilah keberanian abang untuk berkomunikasi dengan dek Aisyah setelah hari itu, hari dimana Aisyah menolak lamaran abang”
Pesan tanpa nama itu membuat degup jantung Aisyah berdetak kencang, tak ada nama lain yang terpikir olehnya kecuali “Hamdan” anak Pak Kades. Ia terus menggengam ponselnya, membaca tulisan itu berkali-kali, memutar otaknya berharap ada sesuatu yang bisa akal sehatnya keluarkan. 15 menit berlalu Aisyah bermain dalam hatinya.
“wa alaikumsalam, kalau aisyah boleh tahu pemilik nama pesan ini, apakah ini bang Hamdan?” maaf bang, maafkan Aisyah atas keputusan itu, semoga tidak ada yang disakiti” begitulah yang bisa dibalas Aisyah.
Harap-harap cemas terhadap kata-katanya yang bisa menyinggung perasaan si pengirim, rasanya Aisyah ingin menarik kembali apa yang ia kirim melalui ponselnya.
Tiiit....satu pesan kembali masuk.
“iya dek ini bang Hamdan, abang tahu abang tidak layak untuk Aisyah, tapi entah mengapa terlalu berat abang menerima keputusan ini dek?”
Entah mengapa tiba-tiba hati Aisyah terenyuh dengan kata-kata itu. Tugas membuat ketupat pun terhenti sejenak. Lamunannya jauh ke depan. Entah itu berupa penyesalan atau mungkin keputusan Aisyah yang harus dipertimbangkan kembali.
“astaugfirullahalazim” Aisyah lepas dari lamunannya, baru sepuluh ketupat kecil yang ia jalin. Pesan terakhir dari Hamdan ia abaikan untuk sementara waktu. Aisyah butuh waktu yang tepat untuk membalas pesan itu agar kata-katanya tidak memperburuk keadaaan.
Tiga jam lagi waktu berbuka, menu masakan telah siap di masak Ibu dan Aisyah. Ada Pecal, ikan goreng cabe dan Ikan Asin goreng tepung favorit Dani dan Lukman.
Tiiit... satu pesan masuk dari Hamdan “Selamat berbuka dek Aisyah, kenapa sms abang tidak dibalas?”.
Ada guratan senyum di wajah gadis mungil itu, Aisyah lupa dengan tujuan semula kenapa ia menolak Hamdan, mulai hari itu dan seterusnya hari-hari Aisyah terus di hujani pesan-pesan dari Hamdan, Asmara mulai tumbuh di Hati yang tulus itu. Benih-benih bunga mulai bermekaran tak ada menit tanpa Pesan dari Hamdan walau kata-kata itu telah ratusan kali ia dapat, namun tetap saja ada kata “rindu” disana untuk terus menerima.
Pagi ini satu Syawal semua mesjid, surau, tivi bahkan Radio berkumandang Takbir Ilahi. Sungguh indah “Allahuakbar Allahuakbar laa ilaahaillallah wallahu akbar...” menyanjung Asma Allah. Seindah hati dan wajah Aisyah pagi ini, setelah bersalaman dengan kedua orang tua dan dua adiknya ada satu orang lagi yang membuat Aisyah ingin buru-buru ke Mesjid. Pria itu Hamdan, yang baru pulang semalam sore hingga ia tak sempat untuk bertemu, komunikasi melalui udara tak sanggup membendung rasa Rindunya.
Cinta itu Buta, membutakan hati, membutakan naluri, itulah konsep cinta yang sedang dilanda Aisyah. Ia sama seperti gadis kebanyakan yang sedang dilanda “jatuh cinta” akal sehat tak bisa bekerja dengan sempurna, Imannya masih bisa goyah karena kekuatan cinta yang di miliki Aisyah masih bisa merobohkan tembok yang selama ini ia bina.
Orang yang ditunggu-tunggu benar-benar ada dihadapan Aisyah, “assalamualaikum” suara Hamdan dari luar rumah, moment lebaran di manfaatkan untukbersilahturrahmi, kedatangan Hamdan dan beberapa sahabatnya, menjadi moment spesial bagi Aisyah.
“wa alaikumsalam, silahkan masuk nak” jawab ayah dari dalam. Rombongan Hamdan dan kawan-kawan masuk dan salam-salaman, Aisyah hanya tertunduk malu di belakang, ia mempersiapkan minuman dan membawanya untuk para tetamu. Rasanya ia ingin mencuri pandang kepada Pria yang telah lama mengisi ruang hatinya yang kosong, tapi Aisyah mengurungkan niatnya karena takut Ayah marah. Ayah selalu berpesan “tundukkan pandanganmu kepada yang bukan mahrammu”.
Mereka terlihat ramah, sesekali ku dengar ketawa kecil ayah mendengarkan cerita Hamdan dan kawan-kawannya. 15 menit kemudian mereka mohon pamit, kudengar suara Hamdan sayup-sayup dari balik pintu “kalau bapak mengizinkan saya mau membawa Aisyah jalan-jalan, pak?”. Entah apa yang dijawab ayah tapi terdengar kembali “oh, maaf pak kalau begitu, terimakasih saya mohon pamit”.
Seharian penuh tamu tak berhenti bersilahturrahmi, pinggang aisyah hampir lepas dari posisinya, sesekali ia sempatkan melirik ponselnya. Tak ada, dari kepulangan Hamdan tak satu pun pesan masuk darinya. Hati aisyah gundah apakah karena ayah tak mengizinkannya pergi bersama membuat Hamdan patah hati, ach tidak mungkin hati aisyah terus bergelut tiada henti, ia beranikan diri untuk menggerakkan tangan untuk mengetik sesuatu.
“assalamualaikum bg Hamdan, kenapa tidak ada kabar? Sudah berlebaran kemana aja?”
Pesannya terkesan basi, kata-kata itu ia tulis berkali-kali dan ia hapus berkali-kali juga. Aisyah terus menunggu. Beberapa kali ponselnya di bolak balik, di timang seperti anak kecil. Satu jam, 2 jam berlalu hingga azan magrib berkumandang. Pesan yang ia tunggu tak kunjung terbalas.
Selesai berjama’ah Aisyah menyiapkan makan malam, dengan wajah masih tertunduk sayu. Ibu sempat bertanya, Aisyah hanya menjawab “lelah bu, tamu ayah banyak sekali”. Aisyah harus berbohong, ia memang lelah tapi lelah dengan hatinya yang terus memikirkan Hamdan.
Lebaran ketiga Aisyah menyempatkan diri untuk bersilahturrahmi kerumah Hamdan, walau tradisi lebaran berkunjung kerumah kerabat dan petinggi desa sebenarnya hal yang biasa mereka lakukan, Aisyah lebih kepada “rindu” dengan sosok pria yang hampir di Ramdhannya menemani dengan hujanan pesan lucu dan membuat ia berbunga.
Bersama ayah dan ibu mereka mengunjungi rumah kepala desa, sebenarnya ada kecangungan kedatangan keluarga Aisyah setelah penolakan lamarannya. Tapi ayah bersikap biasa saja sama seperti tahun sebelumnya. Mereka terlihat bercengkrama sesekali kepala desa mengeluarkan banyolan membuat seisi ruangan tertawa kecuali ibu Kades. Wajahnya tak terlihat senang. Hanya berwajah datar, pertanyaan ibu pun dijawab seadanya.
Mata Aisyah melirik seisi ruangan, mencari sosok Hamdan, hanya foto-foto wisuda pria idmannya terpampang di dinding dan beberapa foto masa kecilnya. Mata Aisyah tertunduk saat Ibu Kades bersuara lantang memecahkan cengkerama Ayah dan Kepala Desa.
“Hamdan sudah pulang ke kota, besok dia sudah masuk kerja, lagi pula mana betah dia disini, dia terbiasa hidup dikota, biasa dengan keramaian dan teman-temannya juga banyak disana” jawab ibu Kades dengan sedikit jutek. Suasana menjadi hening seketika. “ibu” pak Kades mencoba untuk menenangkan istrinya.
Aisyah merasa bersalah, memposisikan kedua orangtuanya dalam keadaan tidak nyaman seperti ini. Ayah hanya terdiam sejenak dan membalas ucapan ibu kepala desa “iya bu, kebanyakan anak yang hidup di kota memang seperti itu, makannya desa ini kosong padahal anak-anak seperti Hamdan sangat diperlukan untuk membangun desa, ya kan Bapak kepala desa?” Kepala Desa mengangguk-angguk tanda setuju.
Dirumah, Aisyah termenung jauh. Kejadian dirumah kepala desa membuat hatinya tidak enak. Tetapi ada hal yang paling menyakitkan baginya, kenapa Hamdan pulang tanpa memberitahu dirinya. Selama ini hampir semua kegiatannya makan, minum, tidur, lelah Hamdan tak pernah absen. Tanpa sadar air hangat meleleh disamping pipinya.
Tanpa diketahui Aisyah, ibu memandangnya dari kejauhan. Menarik nafas panjang, walau Aisyah tak pernah cerita tentang kedekatannya dengan Hamdan setelah penolakan lamaran itu, tapi ibu tahu. Nalurinya sebagai ibu tak bisa dibohongi. Ia menatap dengan sedih saat bulir-bulir air mata anak gadisnya jatuh berderai. “Ya Allah lindungi annakku, jaga hatinya, kehormatannya, kuatkan ia sebagaimana Engkau menguatkan Hamba untuk membesarkannya menjadi wanita sholehah, berikanlah ia pendamping hidup dari golongan baik-baik yang mencintai nya karenaMu ya Allah, aamiin”. Allohuma aamiin yaallah.
Sebulan berlalu, Hamdan hilang ditelan bumi tak satu pun pesan Aisyah terbalas. Benih-benih cinta yang ia taburkan dihati Aisyah tumbuh layu tak bertuan. Aisyah mulai melupakannya. Melanjutkan kehidupan seperti biasa, mengganggap semua tak pernah terjadi meski hatinya teriris. Tiap malam diatas sajadahnya ia berdoa, menderaikan air matanya dihadapan Sang Khalik Pemilik Hati yang sebenarnya. Mohon keampunan, membersihkan hatinya dari Zina, dari dosa yang ia perbuat dan mohon PetunjukNya.
Dan sore itu petunjuk yang benar-benar membakar penantiannya selama ini. Seseorang datang kerumah dan meneteng sebuah amplop. “asslamualaikum dek Aisyah, ini ada undangan untuk Bapak, mohon disampaikan ya” kata si pengantar yang tak lain penjaga kantor Desa Pak Somat. “terimakasih pak” jawab Aisyah dengan senyuman sebelum membuka Undangan yang ada ditangannya.
Serasa langit ingin runtuh, bumi bergoncang keras saat Aisyah membaca sebuah nama di undangan pernikahan. Muhammad Hamdan Bin H. Sukamto Abdullah menikah dengan Rizki Hayati Salsabilah Binti H. Abd. Rozak. Tak ada angin, undangan itu lepas dari tangannya, Aisyah terduduk lesu. Inikah penantiannya, inikah jawaban dari doa-doanya. Ya.
Amarah dihati Aisyah bergejolak, rasa yang sudah ia pendam muncul menjadi kobaran api besar, sebagai wanita biasa ia tak bisa membendung amarahnya. Aisyah mencoba untuk mengetik pesan untuk mendapatkan penjelasan, tapi niat itu urung ia lakukan, sebuah tangan halus menyetuh bahunya, Ibu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ibu membaca Surah An-Nur ayat 26 dihadapannya “Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik”.
Kali ini Aisyah bukan saja menteskan air mata, tapi menangis terisak dibahu Ibu, wanita yang kekar ini tempat Aisyah menumpahkan segalanya. Ibu menepuk-nepuk lemah bahu Aisyah sama seperti saat Aisyah kecil menangis karena tidak bisa membeli sebuah permen karena Ayah tak punya duit waktu itu. Ia menangis hingga tertidur dan melupakan permen itu hingga ayah datang membawa sebuah mainan dari jalinan daun kelapa buatan ayah. Tapi kali ini sungguh berbeda Hamdan bukanlah Permen. Tentu jauh berbeda kasus cinta dengan kasus tidak mendapatkan permen, tapi bagi Aisyah di pelukan Ibu semua sama, semua terasa tenang.
Tidak hanya sampai disana, disaat Aisyah mulai bisa menerima, disaat itu pula ia mencoba untuk mengotak atik sosial media network yang baru 2 minggu lalu dibuat oleh sahabatnya. Hanya sekedar mengikuti trend dari pertama dibikin sampai hari ini baru sekarang ia punya niat untuk membukanya. Ia mencari dikolom pertemanan, menseleksi beberapa nama yang mungkin ia kenal. Tiba-tiba hatinya berdegup kencang, sebuah nama “Hamdan SA” dari wajahnya Aisyah cukup mengenali dari ribuan nama Hamdan di dunia maya.
Hati Aisyah tergerak untuk melihat profilnya yang bertanda globe berarti terbuka untuk umum tidak terkunci. Setiap postingan Hamdan, Aisyah membacanya, semuanya tentang kebahagiaan. Sepertinya Hamdan orang yang sibuk, postingannya hanya sesekali, alangkah terkejutnya Aisyah saat mengetahui jika hubungan Hamdan dan calon Istrinya yang sudah tentu lebih cantik, putih tinggi dan berpendidikan tinggi dibanding Aisyah si gadis Desa telah terjalin setahun yang lalu.
Aisyah menarik panjang nafasnya. Ada rasa kesal, rasa bodoh ia mengenal sosok Hamdan. Ada kesedihan yang lebih mendalam disaat Aisyah mencoba mengotak atik profil Hamdan hingga bulan lalu disaat ia merasa bunga-bunga indah bersama Hamdan. Tepatnya Ramdhan ke 27.
“ini hanya sekedar pembalasan kecil untuk orang yang kecil :D”
“KUCINTA KAMU KARENA KASIHAN..mana mungkin kita bersama”
“ternyata dia mudah untuk diluluhkan haaaa”
Tangan Aisyah terkepal, sebuah kertas yang dari tadi ia pegang sempurna menjadi bola. Secara tiba-tiba rasa cinta berubah menjadi benci sebesar-besarnya. Tak ada air mata hanya penyesalan besar yang ia rasakan. Ia merasa bersyukur Allah menunjukkan orang seperti apa Hamdan, walau hatinya sakit, tetapi itu lebih baik dari pada ia hidup dengan orang yang salah. Tutup.
Semua telah terang bagi Aisyah. Ia tidak larut lagi dengan perasaannya. Kini ia move on. Pergi kerja dengan semangat, bahkan ia berniat untuk datang ke acara undangan pernikahan anak Kades hari ini bersama rombongan guru-guru MDA.
Dihadapan Hamdan yang saat ini bersanding bahagia bersama istrinya yang cantik Aisyah menelungkupkan tangan, “selamat ya bang Hamdan, terimakasih untuk mengajarkan Aisyah cara menghargai rasa, mengkasihani hati dan menata hati lebih baik lagi” ia akhiri dengan senyum manis. Hamdan hanya terdiam. Matanya tak terkelip sedikitpun, ia memandang punggung Aisyah berlalu dengan senyum terindah gadis yang ia permainkan hatinya.
Cinta itu bukan untuk dikasihani, cinta itu juga bukan karena kasihan. Setiap makhluk yang hidup telah tercatat dengan nasib mereka masing-masing. Ada Allah yang Maha Pengasih, sayangNya kepada setiap makhluk tidak merendahkan derajat setiap yang ia ciptakan.
@Gie_bustaf (7 Januari 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H