"Hidup mahasiswa.....hidup mahasiswa.....pilih nomor ** bila anda ingin perubahan, saya berjanji .... !," ungkap salah satu calon kandidat berapi-api. Dimulain hari ini, 7/6/11 sampai pertengahan bulan Juni nanti akan menjadi bulan terpanas di kampus Universitas Muhamamdiyah Malang (UMM), bukan karena terjadi global warming atau kebakaran, tetapi karena pada bulan juni akan dilangsungkan pemilihan raya (Pemira) mahasiswa untuk memilih pemimpin lembaga kemahasiswaan mulai tingkat universitas, memilih Senat Mahasiswa Universitas (SEMU), Presiden Mahasiswa (BEMU), sampai pada tingkat fakultas, memilih Gubernur Mahasiswa (BEMFA), Senat Fakultas (SEFA), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Lembaga Semi Otonom (LSO).
Hiruk piruk Pemira boleh dibilang sebagai miniatur sebuah negara bagi mahasiswa, pasalnya apa yang terjadi dalam Pemira, terjadi juga saat pemilu memilih presiden maupun anggota DPR, bila dinegara ada politik uang mungkin saja dalam tataran Pemira akan ditemukan kasus-kasus serupa, (pada intinya sama). Pemilu raya tersebut merupakan awal dari pendidikan politik bagi mahasiswa yang nantinya akan berkiprah dalam kehidupan politik berbangsa dan negara kelak, maka sebaiknya pesta demokrasi dalam kampus dimaknai atau dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan menghindarkan ego atau kepentingan pribagi atau golongan.
Dalam pemira di UMM dan mungkin kampus lain berusaha untuk menerapkan teori dalam ilmu politik yakni trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif ), sedangkan untuk penyelenggara pemilu raya ditingkat universitas dibawah kendali Komisi Pemilu Raya Universitas (KPRU) sedang ditingkat fakultas KPRF, sama halnya pemilu negara sesungguhnya ada KPU. Sedangka partai pengusung calon / team suses terdapat 3 partai yang terpusat kepengurusannya yaitu Partai Aspirasi Sejati (Pasti), Partai Kita, dan PGB (sebenarnya banyak partai tetapi tidak lolos verifikasi). Masing-masing partai tersebut berlomba-lomba untuk memenangkan jago-jagonya baik itu melalui Positive Campaign bahkan ada juga yang melakukan black Campaign.
Sebagai pendewasaan pendidikan demokrasi lewat kampus, politik memang bukanlah hal yang asing bagi mahasiswa, tetapi banyak juga ditemukan mahasiswa yang anti politik seperti ditemukan Gerakan Anti Pemilu Raya (GAPR) alias golongan putih (Golput) yang dalam teori politik disebut apatisme politik, yang memasang sepanduk atau pamflet di sudut-sudut kampus menyaingi kampanye dari calon kandidiat. Hal ini bisa dikatakan kelompok itu punya kepentingan dalam pemilu mahasiswa, entah itu apa motifnya, meskipun begitu tentu kita mengapresiasi karena GAPR/Golput bagian dari demokrasi.
Pemilu di lingkungan kampus, sangat menarik untuk diamati hal ini tidak lain karena dinamika yang menyertainya seperti tingkat partisipasi/kontribusi mahasiswa semakin menurun karena bagi sebagian mahasiswa pemilu raya hanya untuk kepentingan kelompok tertentu sehingga dirinya ogah untuk ambil peran. Kemudian adanya kejadian-kejadian anarkis yang dilakukan oleh pendukung yang calonnya kalah, sehingga menurut pemerhanti politik kampus, pemira tidak lagi sebagai ajang demokrasi yang dapat mengakomodir keinginan mayoritas mahasiswa melainkan hanya segelintir mahasiswa yang terlibat didalamnya.
Meskipun begitu, kita sebagai seorang intelektual tentu dapat berfikir jernih, bagaimana seandainya pemilu di lingkungan kampus ditiadakan? Tentu kita sepakan bila sampai terjadi maka gelaplah demokrasi Indonesia kedepan. Mari kita belajar dari pemilu yang dilakukan mahasiswa untuk kebaikan demokrasai kedepan, boleh jadi dengan proses pembelajaran demokrasi di kampus akan memperbaiki sikap berpolitik masyarakat Indonesia. Hidup mahasiswa.
* Jurnalis Bestari UMM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H