Tidak berimbangnya pemberitaan di media massa akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan bagi praktisi dan akademisi di bidang komunikasi. Padahal, salah satu fungsi media massa dalam hal ini pers adalah sebagai alat kontrol dalam menyelidiki pekerjaan pemerintah, dan bertanggungjawab terhadap publik.
Pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Walaupun berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Karenanya, kebebasan pers menjadi salah satu tolak ukur kualitas demokrasi di sebuah negara.
Pemberitaan di media massa yang tidak cover both side(berimbang), sering kita lihat belakangan. Beberapa hari kemarin, banyak media massa cetak maupun elektronik (TV, Radio, Daring) memberitakan tentang tiga tahun kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Berbagai bemberitaan mengenai keberhasilan dan prestasi pemerintah mendadak menjadi topik hangat. Tak lupa disertakan survei-survei yang membahas tentang puas atau tidak puas terhadap kinerja pemerintah, dan survei mengenai keterpilihan Jokowi di 2019. Di media sosial twitter, tagar #3tahunJokowi sempat menjadi trending topic.
Jarang ditemukan berita yang membahas secara keseluruhan evaluasi kinerja pemerintah. Atau setidaknya kritik mengenai kebijakan yang telah dikeluarkan hingga saat ini. Padahal kritik diperlukan untuk membangun. Lucunya, orang yang mengkritik pemerintah malah dipolisikan.
Setidaknya ada 16 kasus yang mengkritisi pemerintah dan dijerat dengan UU ITE. Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kebanyakan kasus-kasus tersebut dikenakan kepada aktivis, penggiat politik dan dari LBH. Jumlah itu belum digambungkan dengan ratusan mahasiswa yang dipolisikan pada berbagai kasus yang menjurus kepada kritik pemerintah.
Mungkin orang sudah lupa saat Dandhy Dwi Laksono, wartawan senior dan penulis buku 'Jurnalisme Investigasi', dipolisikan karena menulis status Facebook terkait pernyataan Megawati Soekarnoputri soal petugas partai, saat Joko Widodo terpilih sebagai presiden, juga mengenai data 1.083 warga Papua yang ditangkap di Pemerintahan Jokowi. Dan mungkin berita mengenai penangkapan 13 mahasiswa saat bersuara di depan Istana Negara beberapa hari lalu sudah dilupakan. Belum lagi buruh, petani, aktivis lingkungan yang ditangkap karena ikut bersuara.
Masyarakat yang mencoba bersuara melalui media sosial acap kali diberikan komentar pedas, jika suaranya tidak senada dan tidak mengindahkan pemerintah. Sebaliknya, pemberitaan mengenai hal-hal yang sebenarnya tidak memiliki nilai berita tinggi, menjadi populer dibicarakan. Seperti ada sebuah gerakan terorganisir untuk membela pemerintah, walau hanya dari komentar-komentar di media sosial.
Pengguna media sosial di indonesia seolah diatur untuk mendapatkan informasi yang bagus-bagus saja. Karena media sosial saat ini telah menjadi sumber informasi utama. Â Berdasarkan riset Reuters Institute 2016, kecenderungan orang membaca berita melalui media sosial semakin tinggi.Di Singapura dan Malaysia, lebih dari 25 persen responden menjadikan media sosial sebagai sumber utama dalam mengakses berita. Angka ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan di Inggris sebesar 8 persen dan di Amerika Serikat 15 persen.
Jika asupan informasi yang diterima masyarakat sudah tidak berimbang, akan melahirkan gejala-gejala mass society. Individu-individu tampak seperti distandarisasikan, diotomatisasikan dan kurang keterikatannya di dalam hubungannya antarpribadi (interpersonal relations). Pembentukan opini akan menjadi semakin mudah. Khalayak akan percaya dengan apa yang diterima dari media massa, karena media massa memanipulasi kekuatan besar.
Fenomena ini mirip dengan berhasilnya propaganda Goebbels dalam periode Perang Dunia II. Joseph Goebbels adalah menteri propaganda Jerman dibawah kendali Hitler. Dia sangat menyadari nilai dari propaganda yang dilakukan secara masif, dan Partai Nazi Jerman mempraktikkan propaganda secara sistematis dan brutal di semua lapisan dan media.