Seorang lelaki berbadan gempal berlari menerjang hujan. Tomas Hendri, lelaki itu, berhenti di depan pintu sebuah rumah tua. Dengan seragam coklatnya yang kuyup, dan tangannya gemetaran, Tomas memasukkan kunci ke lubangnya. Diiringi derit pintu yang mirip ringkik kuda, hidungnya segera disergap bau apek ruangan yang lembab dihadapannya, namun ia menghirup nafasnya dalam-dalam.
Lima detik lamanya Tomas Hendri bergeming di ambang pintu rumah tua itu. Dengan langkah-langkah berat, ia masuk ke dalam, menengok satu demi satu ruangan yang ada di situ. Ia berhenti didepan sebuah ruangan kotor nan acak-acakan, dipenuhi sarang laba-laba di segala penjuru.
Dia ingat betul ruangan yang satu itu.
“Laboratorium...” gumam Tomas Hendri, memandang sekeliling.
Dia berjalan masuk ke laboratorium tersebut, menuju sebuah kayu bulat panjang yang tergolek di lantai. Di samping kayu, terdapat roda pedati yang dicat warna-warni. Tomas berjongkok di samping roda, mengambil satu lempeng batu pipih yang tergeletak di bawahnya.
***
“Ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi, ia menciptakannya sambil bernyanyi-nyanyi riang, penuh harmoni,” demikian Andre Markus pernah berujar.
“Jika kamu pasang telingamu baik-baik, kamu masih bisa menangkap nada-nada tersebut. Terutama jika hujan turun, suaranya jadi mirip denting kulintang.”
Andre Markus mengucapkan kalimat itu, sambil memejamkan mata, mengangguk-anggukan kepala, sembari jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja.
Martinah sudah hapal benar tabiat suaminya. Jika suaminya mulai kumat aneh-aneh begitu, Martinah akan bergegas menyeduh teh. "Nih seniman gila! Minum obatmu!" katanya sambil menyodorkan secangkir teh panas tepat di bawah hidung Andre , yang hanya tertawa bila mendengar hardikan galak semacam itu.
Sungguh sulit untuk mendengarkan derai hujan sebagai denting-denting merdu. Barangkali hanya telinga Andre Markus saja lah yang bisa menangkapnya.