Mohon tunggu...
Gin Seladipura
Gin Seladipura Mohon Tunggu... profesional -

Co founder & Product Manager at spektakel.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dodit Mulyanto dan Perasaan Inferior

20 Maret 2014   21:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:42 7337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_299840" align="alignnone" width="525" caption="Dodit | Sumber: Kompas TV"][/caption]

Pria itu berwajah sangat culun, berdiri dengan kaku di panggung, menenteng biola.

"Selamat malam, penduduk!" sapanya, "perkenalkan nama saya Dodit, saya asli jawa, namun memegang teguh budaya eropa"

Mendengar itu, penonton langsung meledak dalam tawa. Ada ironi dalam sapaan pria yang mengaku bernama Dodit itu. Betapa sulit dipercaya bahwa pria culun dan berlogat jawa yang sangat medok itu memegang erat budaya eropa. Sangat jauh dari kesan elit dan elegan, melainkan ironis. Dodit berhasil memainkan peran itu, menghadirkan ironi tersebut dengan gaya nya yang dibuat sekaku mungkin. Yang menonton barangkali merasakannya juga, buktinya mereka ngakak parah sewaktu Dodit naik panggung.

Dodit ialah salah satu peserta kompetisi stand-up comedy yang digelar Kompas TV. Menjadi pria jawa culun namun ber-taste tinggi ala eropa merupakan persona yang ia tampilkan di acara tersebut. Terus terang, saya langsung ngakak melihatnya. Saya tidak tahu apakah Dodit menyadarinya atau tidak, yang saya rasakan sewaktu melihat aksi lawak Dodit adalah, saya seperti ditampar-tampar, disuruh melihat keresahan yang saya alami sendiri: persoalan identintas yang inferior terhadap budaya asing.

Munculnya Dodit di layar TV buat saya adalah antitesis terhadap muka-muka blasteran. Ia adalah apa-apa yang bukan Cinta Laura. Jika disandingkan, keduanya belepotan kala berbicara dalam bahasa Indonesia. Bedanya, yang satu belepotan logat bule, yang satunya lagi belepotan logat jawa yang ampun-ampunan medoknya. Saya lebih suka yang belepotan logat jawa, karena ia berangkat dari kesadaran yang mewakili saya. Ya, saya sangat sadar kalau saya orang jawa. Dan, ya, saya sadar kalau saya hampir selalu menganggap bahwa budaya Eropa itu keren. Saya tahu bahwa hal ini sebenarnya mengkhawatirkan, makanya saya berhasil ngakak sewaktu kekhawatiran tersebut mewujud dalam materi lawakan yang dibawakan oleh Dodit.

Di tangan seniman yang mahir, kenyataan-kenyataan yang ironis memang bisa diubah menjadi seni yang menghibur. Ia tidak menjadi nyinyir, tidak pula menjadi sok gawat, melainkan menjadi hiburan yang seru dan lucu. Disini, Dodit tidak sendirian, ada banyak sekali komika lain yang juga lucu. Beruntunglah dunia lawak Indonesia, munculnya para komika muda ini membuat hiburan kita menjadi lebih variatif.

Stand-up comedy sendiri sudah menjadi hiburan alternatif dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun tidak semua kalangan dapat menerima kelucuan yang mereka tawarkan, tapi tidak menjadi persoalan. Mustahil memang untuk menciptakan hiburan yang disukai semua kalangan, dan segmentasi adalah kata kuncinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun