Mohon tunggu...
Gia Ghaliyah
Gia Ghaliyah Mohon Tunggu... Guru Fisika -

"Karena dengan menulis, saya meninggalkan banyak jejak sebagai saksi bahwa saya ikut andil memberikan solusi-solusi untuk bangsa ini."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

HUT RI Bersama Anak-anak Buruh Migran di Serawak

29 September 2015   09:16 Diperbarui: 29 September 2015   21:12 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Foto Bersama Diplomat RI Atase Pendidikan, Prof Ari Purbayanto"][/caption]

Dedikasi untuk negeri, mendidik tiada henti. Siap mengabdi sampai ujung dunia, walau jauh dari tanah air tercinta.

Tak pernah terpikirkan olehku untuk akhirnya dapat menemui mereka. Tidak hanya sekadar bertemu, tetapi kita juga melakukan banyak hal di sana. Mereka adalah bibit-bibit bangsa yang mempunyai semangat juang tinggi untuk memajukan nama negeri. Mereka adalah anak-anak buruh migran, sang pahlawan devisa negara. Aku bersama 40 relawan muda dari 27 universitas di Indonesia terbang dari tanah air menuju negeri jiran, lalu berpencar ke beberapa titik di Serawak untuk menjalin kisah romantis bersama anak-anak buruh migran dalam mengarungi mimpi-mimpi mereka.

Anak-anak Indonesia dimanapun mereka berada, haruslah tetap bisa mengenyam pentingnya pendidikan, karena di genggaman merekalah masa depan Indonesia berada. Di nagera Malaysia, khususnya Serawak, terdapat pekerja Indonesia yang mencapai lebih dari 400 ribu orang yang ditempatkan tidak kurang dari 250 perusahaan kelapa sawit. Dari jumlah warga negera Indonesia tersebut, setidaknya terdapat 20.000 anak-anak Indonesia. Namun, hanya sekitar 800 anak yang mampu mengenyam pendidikan di 17 sekolah non formal.

Aku bersama relawan lainnya mengabdi selama 20 hari di sana. Banyak sekali kisah-kisah yang sungguh menggetarkan hati ini bersama adik-adik kesayanganku. Aku bersama dua relawan ditempatkan di Galasah, salah satu titik fokus tempat kami mengabdi untuk 32 bibit-bibit bangsa. Buku hanya satu untuk dapat dipelajari bersama-sama. Papan tulis hanya satu sebagai fasilitas yang digunakan untuk beberapa kelas dalam waktu yang bersamaan. Ruang kelas pun hanya satu untuk berdasak-deasakan mengukir cita. Di tengah-tengah barisan pohon kelapa sawit yang menjulang tinggi, sebuah sekolah kecil berbentuk rumah panggung menjadi saksi bisu tempat persinggahan anak-anak buruh migran dalam menggapai mimpi. Sekolah Dasar Al-Ikhlas namanya. Aku salah satu pemuda Indonesia yang beruntung untuk dapat menyaksikan secara langsung senyum manis mereka dengan keoptimisan juang yang tinggi.

17 Agustus 2015 adalah salah satu momen yang paling kami tunggu-tunggu. Aku telah menyaksikan secara langsung bagaimana semangat mereka untuk menunjukkan rasa cintanya kepada negeri. Adik-adikku latihan upacara HUT RI dengan sangat keras. Padahal mereka hanya melakukan upacara satu tahun sekali. Bisa terbayangkan, bagaimana usaha keras mereka untuk memberikan hasil yang maksimal di momen upacara HUT RI. Selain latihan upacara HUT RI, aku bersama adik-adikku juga menghias ruang kelas, tempat kami melakukan upacara HUT RI. Ruang kelas dihiasi bendera merah putih yang berukuran kecil, ada juga balon merah putih, dan gambar-gambar pahlawan negeri berjajar rapi mengelilingi tembok kelas.

Tepat pukul 09.30, kami melaksanakan upacara HUT RI di dalam ruang kelas Sekolah Dasar Al-Ikhlas, Galasah. Walaupun sang saka merah putih tidak dapat berkibar di bawah langit yang cerah, upacara tetap berlangsung dengan hikmad dan semua petugas upacara berhasil melaksanakan upacara dengan usaha yang maksimal. “Kepada sang saka merah putih, hormat grak!” dengan lantang Khairil (Kelas 3 SD) memimpin pemberian hormat saat upacara berlangsung. Ketika kami menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dipandu oleh Nia (kelas 4 SD) sebagai dirijen, air mata berlinangan jatuh membasahi suasana upacara. Akhirnya, aku mengetahui maksud dari sepenggal lirik lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R Supratman, “Disanalah, aku berdiri jadi pandu Ibuku. Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku.” Kata “Disanalah”, sangat tepat menggambarkan rasa rindu yang teramat dalam kepada Indonesiaku.

Walaupun bendera tidak dapat dikibarkan di tengah-tengah barisan pohon kelapa sawit, adik-adikku tetap bersyukur masih bisa melaksanakan upacara untuk memperingati ulang tahun negeri tercintanya. Jarak bukanlah masalah, yang terpenting bagi mereka adalah hati ini tetap selalu dekat dengan denyut jantung Indonesia.  Dua hari kemudian, kami mengadakan perlombaan untuk memperingati HUT RI di lapangan terbuka dekat sekolah. Salah satu lombanya adalah lomba lari mengambil bendera untuk murid-murid TK dan SD kelas 1. Walaupun saat upacara HUT RI tidak boleh mengibarkan bendera merah putih, saya cukup puas melihat bendera merah putih yang berukuran mungil untuk dijadikan sebagai properti perlombaan lari. Melihat bendera mungil itu terkena sentuhan lembut angin, hati ini semakin merindu Indonesia. Adik-adikku selalu berkata, “Kami akan melanjutkan sekolah di Indonesia, cikgu!” Ekspresi mereka ketika mengatakan seperti itu, sampai saat ini tak akan pernah aku lupakan. Pemerintah Malaysia hanya mengizinkan anak-anak Indonesia untuk mengenyam pendidikan hanya sampai usia 12 tahun. Lebih dari usia 12 tahun, anak-anak Indonesia tidak boleh menuntut ilmu di Malaysia. Buruh-buruh migran selalu memperjuangkan nasib pendidikan anak-anaknya, agar mimpi anak-anak mereka tidak sama dengan nasib orang tuanya. Mereka memang sulit untuk jauh dan melepaskan kepergian anak-anaknya menuntut ilmu lebih tinggi di Indonesia. Namun, mereka tetap percaya bahwa pendidikan mengajarkan banyak hal untuk menjadi manusia sesunggunya yang mencintai negerinya.

Anak-anak buruh migran sesungguhnya adalah inspirator kemerdekaan. Mereka dan orang tuanya selalu berjuang di negeri orang, tetapi Indonesia tetap di denyut jantung mereka. Terima kasih Tuhan, telah mengizinkanku untuk mengukir kisah romantis bersama mereka. Pertemuan yang sangat singkat namun serat akan makna, telah membuatku sadar bahwa arti kebahagiaan tidak selalu diperoleh dari materi. Materi hanya dapat membuat kebahagiaan semu belaka, tetapi ketengangan jiwalah yang merupakan kebahagiaan sesungguhnya. Semoga adik-adik kecilku selalu semangat untuk terus mengarungi cita. Kembalilah ke negerimu dan tuntutlah ilmu, wahai adik-adikku! Disinilah tempatmu berpijak untuk dapat melompat lebih tinggi lagi.

*Tulisan tersebut sudah dipublikasikan di www.indonesiapositif.com karena berhasil memenangkan Juara Utama Kontes Foto Patriot yang diadakan oleh Indonesia Positif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun