BERBANGSA DAN BERSUKU UNTUK SALING MENGENAL
Keberadaan manusia di dunia ini tidak lepas dari adanya SANG MAHA PENCIPTA. Karena manusia ada bukan serta-merta ada, seperti halnya sebuah gelas, gelas tidak akan ada jika tidak ada seseorang yang menciptakannya. Demikian juga dengan manusia. Si pencipta gelas bisa dibuktikan secara kasat mata, namun tidak dengan keberadaan TUHAN. TUHAN tidak bisa dibuktikan secara visual, melainkan dengan kepercayaanlah TUHAN akan ada dan hadir di antara kita. TUHAN adalah maha-zat, adalah satu-satunya hal yang menjadikan semesta raya ini, CAUSA PRIMA! Dan hakikat TUHAN adalah sejati! Tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah mati! TUHAN adalah zat yang MAHA SUCI, MAHA dari semua MAHA, dan TUHAN (dengan berbagai cara penyebutannya) bukan milik satu kelompok saja, satu agama tertentu saja. TUHAN ada sebelum dunia ini ada. Sebelum peradaban modern ada. Sebelum manusia-manusia yang mengaku beragama itu ada.
TUHAN ada sebagai Zat Tunggal yang meliputi seluruh semesta raya, TUHAN tidak berkewarganegaraan–nationless, TUHAN tidak bernegara–stateless, dan TUHAN tidak berumah–homeless. Karena TUHAN adalah Zat Tunggal yang meliputi seluruh apa yang ada di semesta raya ini, TUHAN ada di mana-mana. Namun akhir-akhir ini keberadaan TUHAN diributkan dan dinodai oleh beberapa aksi-aksi anarkis yang mengatasnamakan TUHAN. TUHAN dihadirkan dalam berbagai aksi-aksi yang sesungguhnya mengingkari hakikat TUHAN itu sendiri. Bahkan ada beberapa pihak yang sedang mencarikan “negara” bagi TUHAN! Sungguh nista hal yang demikian itu. Mengapa demikian?
Aksi-aksi anarkis dan tidak berperikemanusiaan yang terjadi di seluruh belahan dunia ini, pasti, mengatasnamakan TUHAN dalam mencapai setiap tujuannya, tidak peduli korban yang berjatuhan. Tujuan-tujuan untuk mencapai kekuasaan–dengan dalih apapun, selalu mengatasnamakan TUHAN. TUHAN tidak membutuhkan semua itu, TUHAN tidak menginginkan semuanya. Bahkan, TUHAN tidak butuh disembahyangi!
Lalu apa yang diinginkan TUHAN dari kita sebagai makhlukNYA? Yang TUHAN inginkan dari makhlukNYA adalah rasionalitas! Manusia–sebagai makhluk yang paling mulia, dituntut untuk berpikir rasional sebagai makhluk sosial–homo socius, bukan makhluk yang hidup sendiri. Rasionalisme ini diperlukan untuk menjadikan agama-agama TUHAN sebagai berkah, anugerah, dan pemberi kedamaian. Untuk menjadikan agama-agama sebagai “rahmatan lil ‘alamin” bukan sebagai kendaraan perang dalam mencapai tujuan tertentu. Sering manusia terperangkap dalam kebenaran religiusitas–kebenaran yang diklaim hanya milik agama sekelompok orang tertentu. Yang menjadikan kelompok lain sebagai person atau komunitas yang terlarang bagi kaumnya. Hal itu bertentangan dengan firman TUHAN yang menyebutkan bahwa manusia dilahirkan ke dunia secara berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dengan satu tujuan yang diharapkan oleh TUHAN, yakni untuk saling mengenal satu sama lain.
Mengenal, knows. Itulah yang diharapkan oleh TUHAN, bukan untuk saling berperang, saling menekan satu sama lain. Dalam firman tersebut TUHAN menyebutkan bahwa manusia dilahirkan secara berbangsa-bangsa, firman ini kurang dipahami dengan baik, bangsa–nation, berbangsa-bangsa–nations, bukan satu bangsa, satu nasion, satu negara! Bukan sebagai satu unifikasi–terlepas entah nantinya ada suatu kesepakatan unifikasi yang terbentuk antara bangsa-bangsa itu. Namun tujuan TUHAN menciptakan manusia ialah untuk saling mengenal satu sama lain, untuk saling mengenal antar suku, antar bangsa, agar manusia bisa mengerti dan menghayati keragaman yang diciptakan TUHAN yang akan menjadikan dunia ini hidup dalam damai sebagai satu tujuan TUHAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H