Mohon tunggu...
Ghum Miller
Ghum Miller Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang lain yang telah memberikan pelajaran berharga kepada saya. Saya adalah jelmaan dari seribu pemikiran banyak orang untuk menciptakan sebuah perubahan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kabinet Regenerasi Republik Indonesia

17 Juni 2013   11:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:54 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini kita tahu betapa banyaknya kementerian yang ada diIndonesia. Agar tidak berakibat pada pembengkakan alokasi APBN dikarenakan hal tersebut, maka perlu solusi untuk membongkar dan merampingkan kementerian yang telah ada saat ini sesuai fungsi pokok kerjanya. Mencegah korupsi serta hanya dapat mengotoritarisasi kementeriannya tanpa perlu menyinggung kementerian lain yang berimbas pada saling lempar tanggungjawab antar kementerian. Kementerian harusnya cukup mewakili sektor teratas dari fungsi dan tujuan negara sebagai contoh Kementerian Pendidikan & Kebudayaan dengan Kementerian Kesehatan adalah satu fungsi yang sama, harusnya dapat ditampung dalam kementerian Sosial saja, kemudian dibagi menjadi Departemen masing-masing.

Menurut saya, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) didalam struktural pusat agaknya tidak diperlukan, cukup DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) saja, karena nanti turunan dari DPR adalah DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Indonesia juga butuh Departemen yang berdiri dibawah kewenangan DPR sebagai departemen pengawasan negara atau audit negara serta dapat diturunkan strukturalnya didaerah menjadi departemen audit daerah. Fungsi dan tujuan departemen tersebut sama dengan DPR namun lebih berfokus kepada pengasawan secara independen, hak otoritasisasinya harus lebih tinggi dari presiden dan setingkat DPR, saat ini indonesia hanya memiliki BPK (Badan Pengawasan Keuangan) kinerja pegawai dan sebagainya belum disorot dengan baik.

Tugas dan fungsi Kementerian Komunikasi & Informatika adalah salah satunya mendukung pemerintahan yang good governance dan egovernance, namun secara pelaksanaannya nihil, sebagai contoh Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) dari sisi sektor Keuangan Negara dan Keuangan Daerah, mereka membuat sebuah sistem yaitu SIPKD (Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah) yang dibelinya dari jalinan kerjasama dengan PT. USADI SISTEMINDO, mereka menggunakan alokasi dana APBN, sedangkan maintenance sistem didaerah termasuk pelatihan dibebankan pada APBD, kenapa tidak diserahkan kepada Kementerian Komunikasi & Informatika untuk membuat sistem tersebut, sehingga tanggung jawabnya jelas ? Ssistem tersebut secara develop awal sudah sesuai dengan Permendagri (Peraturan Dalam Negeri) No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, namun pelaksanaan dilapangan banyak dicustomize (dirubah) oleh pemerintah daerah masing-masing yang notabenenya menyimpang dari pemendagri tersebut, sebagai contoh penggunaan dana GU (Ganti Uang), UP (Uang Persediaan) dan LS (Langsung) SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) mengajukan SPP (Surat Perintah Pembayaran) yang diajukan kepada BUD (Bendahara Umum Daerah) menggunakan UP, dimana dana UP akan diberikan BUD secara glondongan tanpa perlu melalui proses SPM (Surat Perintah Membayar) dan SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana), sepenuhnya dana UP diolah oleh SKPD dan kenyataanya dana UP tersebut hanya diendapkan dibank dengan harapan bunga dari bank, realisasinya mereka menggunakan dana LS, setelah dana LS digunakan mereka mengajukan dana GU karena dana telah digunakan dan UP dikembalikan lagi sebelum akhir tahun.

BUD adalah salah satu fungsional dari pengelolaan keuangan daerah, seharusnya BUD diambil dari departemen sendiri misalnya turunan dari Kementerian Keuangan, namun kenyataannya tidak demikian, BUD diangkat atas keputusan kepala daerah yang menunjuk SKPD, secara struktural orang yang menjadi BUD adalah bawahan kepala SKPD, tapi secara fungsional BUD lebih tinggi dari pada Kepala SKPD, akhirnya dengan kondisi seperti ini Kepala SKPD mampu saja memaksa BUD yang kebetulan berada dibawah strukturalnya untuk meng-ACC anggaran yang dibutuhkan SKPD tersebut.

Kalau menurut saya, Struktural Negara yang baik adalah sebagai berikut :

Jika didalam “Struktur Perusahaan”, Rakyat merupakan Dewan Komite / Dewan Komisaris, karena sebagian besar dana pengelolaan negara dihasilkan atau diperoleh dari pajak rakyat. Jika melihat dari kondisi tersebut, Rakyat seharusnya menjadi posisi tertinggi dalam struktural negara, meski dalam hirarkinya rakyat tetap diposisi paling bawah, namun atas haknya mendapatkan informasi tentang pengelolaan yang dilakukan oleh executive adalah mutlak, namun ironisnya yang menjabat saat ini lah yang memiliki kekuasaan tertinggi meskipun dipilih oleh rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun