Mohon tunggu...
Ghum Miller
Ghum Miller Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang lain yang telah memberikan pelajaran berharga kepada saya. Saya adalah jelmaan dari seribu pemikiran banyak orang untuk menciptakan sebuah perubahan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi dari Rakyat untuk Keparat

14 Desember 2013   16:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:56 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AKU DAN KOLONG JEMBATANKU

Aku kecil si pengembara kerdil

Dekil dan kumal ragaku yang mungil

Tampak hanya tulang setiap sudut mata orang memandang

Jangankan sehelai kain untuk menutupi tubuhku

Sesuap nasi pun terkadang tak ku kunyah dalam mulutku

Lain jalan lain tujuan meski kadang saling bersimpangan

Beginilah jalan yang ku tempuh bukan karena aku yang mau

Mereka melintas diatap tempat tinggalku, tempatku berteduh

Teduhku dikolong jembatan ibu kota negeriku

Negeri ini sangat murah berbagi antar sesama

Mereka membeli makanan, aku ikut mengambil dan memakannya

Mereka membeli minuman, aku juga ikut mengambil dan meminumnya

Tapi mereka tak tahu aku mengambilnya ditempat mereka membuang sisanya

Begitulah cara kami saling berbagi

SAMA – SAMA BERBEDA

Aku berjalan dengan kaki telanjang

Mereka berjalan dengan otak telanjang

Aku bermimpi membeli sesuap nasi

Mereka bermimpi membeli negeri, sungguh ngeri

Mata ku jarang terpejam karena terus mencari rizki

Mata mereka terpejam pun terus mendapat gaji

Tuhan yang sedang menguji ku ataukah menguji mereka

Entahlah, mungkin ini sebuah wujud kebersamaan aku dan mereka

Sama – sama caranya meski berbeda rasanya

TANGIS ADIKKU

Tersedu ditengah malam yang gulita

Hanya lampu ibu kota menyusup disela pohon

Tertahan lapar melilit dalam perutnya

Tangis adikku

Kawan coba dengar apa jawabnya

Ketika ia ku tanya mengapa

Bukan lapar melilit yang ditangisinya

Tapi mereka yang berkuasa yang tak pernah iba

Ironi ketika kekuasaan menguasai hati

Laksana api (penguasa) membakar arang (kami)

Tak kuasa meredam bara bakarnya
Hanya berharap hujan turunlah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun