Istilah digital governansi sepertinya tengah popular diperbincangkan, permasalahan digital governansi di Indonesia pun tidak luput dari perhatian masyarakat. Sebagai warga negara yang baik, kita perlu untuk juga turut membuka mata terhadap hal ini. Segala tantangan dan permasalahan digital governansi yang perlu mendapat perhatian kita semua. Penerapan digital governansi di Indonesia tentunya harus didasari dengan tata kelola yang baik juga, salah satunya dengan melihat berbagai permasalahan dari pelaksaannya sehingga bisa di evaluasi untuk kedepannya, salah satu permasalahan dalam hal ini yaitu kondisi sosial masyarakat. Hal ini dapat menjadi masalah besar jika tidak bisa ditangani secara baik, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam suku, budaya, hingga bahasa. Maka sudah seharusnya permasalahan ini diatasi, apalagi dalam mencapai tata kelola pemerintahan yang baik dengan menerapkan konsep digital. Berdasarkan data dari Economist Intelligence Unit tahun 2020, Indonesia berada di peringkat 61 dari 100 negara terkait dengan kesiapan menggunakan internet. Artinya penerapan konsep digital pada governansi di Indonesia masih bisa dikatakan belum bisa efektif, pernyataan ini juga dikuatkan oleh fakta bahwa banyak masyarakat yang sangat mudah terprovokasi oleh berita berita yang belum jelas kebenerannya. Sehingga hal ini pun menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam upayanya menerapkan digital governansi, maka daripada itu pada artikel kali ini saya ingin membahas peran dari literasi digital bagi penerapan digital governansi di Indonesia sehingga bisa lebih kuat, efektif, dan efisien dalam pelaksanaanya.
Pada pelaksanaannya pemerintah terus berupaya guna mengatasi permasalahan ini dengan beberapa solusi, salah satunya dengan sosialisasi hingga menggunakan media sosial sebagai perantara untuk menunjang segala upaya mereka mewujudkan digital governansi di Indonesia. Salah satunya Literasi Digital Pilar Masyarakat Informasi Indonesia, salah satu program Kementerian Kominfo untuk membangun budaya literasi. Literasi digital akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis-kreatif. Mereka tidak akan mudah termakan oleh isu yang provokatif, jadi korban informasi hoax atau penipuan yang berbasis digital. Dengan demikian, kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan cenderung aman dan kondusif. Membangun budaya literasi digital perlu melibatkan peran aktif masyarakat secara bersama-sama. Keberhasilan membangun literasi digital merupakan salah satu indikator pencapaian dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Keberhasilan literasi digital yang sesungguhnya, salah satunya terwujud dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan internet secara cerdas dan positif. Dengan demikian, kemampuan membaca masyarakat Indonesia, terutama generasi muda perlu diarahkan dengan kecerdasan memahami arus informasi digital dan keadaban bermedia sosial. Kecerdasan menggunakan platform media digital, ketepatan menyebarkan gagasan, sekaligus kejelian mengakses informasi merupakan kecakapan penting pada lini transformasi media sosial kini. Hasil survei yang dilakukakan oleh Center of International Governance Innovation (CIGI) dan Ipsos tahun 2016, sebanyak 65 persen dari pengguna internet di Indonesia percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya, tanpa di check and recheck, hingga dalam hitungan detik informasi tersebut tersebar. Kebiasaan buruk ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum sebagai celah untuk menyebarkan hoax, konten yang tidak bertanggung jawab dan bersifat propaganda sehingga menggiring opini publik sampai pada menggerakan massa. Berdasarkan indeks kerawanan pada Pilkada serentak 2018 yang dirilis pada November 2017 menunjukan 12 Provinsi yang tergolong kepada penggunaan media sosial terutama pada penyinggungan isu SARA. Fenomena tersebut tidak lepas dari penyebaran konten negatif seperti berita bohong, ujaran kebencian dan paham radikalisme yang terus bermunculan hingga 2019 di mana Indonesia melakukan pesta Pemilu dan Pilpres.
Masyarakat dengan mudah dijadikan santapan bernutrisi bagi oknum untuk meyebarkan hoax di lingkungan setempat. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai literasi digital. Pengetahuan ini mampu mengarahkan masyarakat untuk tetap cerdas bermedsos dengan Soft Approach dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang fenomena hoax di era millenial, membuka pikiran betapa bahayanya hoax, serta memberikan pengetehuan literasi digital kepada masyarakat. Â Gerakan literasi digital merupakan upaya menyadarkan masyarakat betapa pentingngya meningkatan kemampuan menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, menerima, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dengan efektif. Dengan Gerakan Literasi Digital ini, masyarakat dilatih untuk mengoptimalkan kebaikan bermedsos juga mengakses informasi yang positif, dengan pengetahuan untuk tidak menerima informasi secara gamblang sebelum menguji kebenarannya hingga masyarakat diajarkan kritis dalam menerima informasi.
Upaya pemerintah melakukan gerakan literasi digital dengan menggandeng komunitas dan aparat hukum untuk bekerjasama memberikan pemahaman fenomena hoax dan melakukan gerakan ini ke masyarakat secara komprehensif dan massive, dan diharapkan melalui program literasi, masyarakat menjadi sadar dan hati-hati dalam bermedsos. Sehingga masyarakat pro aktif menekan konten hoax dan konten radikalisme yang beredar serta menangkal propaganda yang berujung perpecahan. Keberhasilan gerakan literasi ini dapat mendorong masyarakat cerdas informasi, sehingga Fenomena Hoax Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019 dapat ditumpas serta masyarakat menjadi lebih dewasa, sulit terprovokasi oleh informasi yang bersifat propaganda pada Pilkada serentak 2018 dan menjelang pemilu 2019 ini. Apalagi mengingat pada pemilu berikutnya pemerintah akan mengupayakan sistem e-voting dalam rangka penerapan digital governansi di Indonesia, maka daripada itu jika tidak sesegera mungkin hal ini di obati maka bukan tidak mungkin dalam pelaksaannya tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Masih belum meratanya literasi masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan e-gov karena mayoritas penduduk berada pada garis golongan menengah ke bawah. Ini menjadi faktor yang menyebabkan keraguan dalam mengimplemtasikan e-gov di jajaran pemkab dan pemkot. Sebagai gambaran, pada tahun 2004 penetrasi internet baru mencapai 11,2 juta penduduk atau sekitar 5,17% dari total populasi Indonesia. Pada tahun 2006 dengan 1.500.000 jumlah pelanggan internet dan 18.000.000 pengguna internet dengan laju penetrasi 8,1 %, sehingga dapat disimpulkan bahwa persentase penggunaan internet di Indonesia masih rendah. Tingkat penetrasi yang rendah ini juga merupakan suatu kendala besar dalam implementasi egovernment (Sumber : Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia/APJII,(www.apjii.or.id). Bila diuraikan lebih dalam lagi tentunya jumlah pengguna internet tersebut tidak semuanya adalah pengguna langsung situs web pemda atau prosentasenya dapat dipastikan tidak begitu besar mengingat e-gov belum memiliki brand awarness di kalangan masyarakat. Sumber data yang berasalal dari International Communication Union (2006) menunjukkan Indonesia tertinggal dalam penetrasi teknologi komunikasi dan informasi di lingkungan global, Indonesia menempati urutan ke-50 dari 125 negara pada tahun 2006.
Jadi kesimpulannya, Implementasi e-gov di Indonesia masih separuh jalan dan masih jauh di bawah standar yang ideal dan yang diinginkan. Kekurangan idealnya bukan saja dalam konteks lokal namun juga dalam konteks global. Capaian secara kuantitatif menunjukkan progress yang cukup berarti namun dari sisi kualitas belum memadai karena kekurangan di dalam SDM, infrastruktur serta regulasinya. Oleh karena itu maka harus dilakukan penyempurnaan konsep dan strategi pelaksanaan egov dari berbagai sisi. Adsanya regulasi dan standard pembangunan e-gov perlu dibuat agar tidak terjadi pendefinisian dan pemaknaan e-gov secara sendirisendiri oleh pihak penyelenggara yaitu pemerintah daerah. Untuk mengatasi belum meratanya literasi masyarakat tentang penggunaan e-gov maka diperlukan strategi sosialisasi kepada masyarakat dengan beberapa tahapan yaitu ; Tahapan sosialisasi yang pertama adalah ditujukan kepada pimpinan lembaga pemerintah. Karena secara kultur faktor pemimpin sangat memegang peranan dalam implementasi e-government. Banyak contoh keberhasilan pelaksanaan e-gov di berbagai negara, daerah atau kantor pemerintah disebabkan karena faktor skill dan kepedulian manajemen para pemimpinnya. Tahapan ke dua adalah memberikan penekanan dalam sosialisasi e-government di kalangan para pimpinan tentang manfaat yang bisa diperoleh dari penggunaan ICT dalam tata pemerintahan. Baik itu dari segi politis, ekonomi, produktivitas kerja pegawai dan juga omage di mata masyarakat. Tahapan ke tiga, adalah melibatkan semua bagian dalam lembaga pemerintah termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam merumuskan dan membuat rencana induk (masterplan) pelaksanaan e government daerah dan instansi. Keterlibatan DPR memiliki peran penting dalam kesuksesan pembangunan e-gov semua elemen pemerintahan harus terlibat di dalamnya Tahapan terakhir dalam sosialisasi e-gov adalah memberikan brand awarness kepada para masyarakat luas tentang manfaat dan kegunaan bentuk-bentuk layanan dalam e-gov. Mengingat beragamnya status sosial dan ekonomi masyarakat maka yang pertama diberikan penekanan sosialisasi adalah golongan masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi menengah ke atas terlebih dahulu, karena mereka lebih dekat dengan teknologi internet dan konsep e-gov. Selain itu cara ini juga akan mampu menjadikan mereka untuk menjadi stimulan pendorong bagi golongan masyarakat lain tentang manfaat dan kegunaan e-gov.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H