Mohon tunggu...
Ghulam Falach
Ghulam Falach Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar yang selalu ingin belajar untuk mensyukuri fungsi akal sehat

Salah satu praktisi di STTKD Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Rebahan Boleh, Mager Jangan! Gaya Hidup Generasi Rebahan di Ruang Toleransi dan Intoleransi

20 Juni 2020   11:15 Diperbarui: 20 Juni 2020   11:31 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percepatan teknologi terlihat semakin tidak terbendung. Percepatan yang berpengaruh keseluruh aspek kehidupan di masa ini terasa begitu dilematis bak dua sisi mata uang yang disatu sisi berdampak positif untuk melancarkan kehidupan disisi lain dapat berdampak negatif bagi yang tidak memiliknya untuk melangsungkan hidup.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dampak percepatan teknologi yang telah melahirkan kemudahan-mudahan baru dirasa dapat membantu kelancaran kehidupan, salah satunya dalam segi informasi, komunikasi dan transportasi. Namun, dilaian sisi dibutuhkan kesadaran atas kemudahan-kemudahan tersebut karena banyak hal negatif yang berpotensi untuk dimunculkan oleh perceptan teknologi. 

Bila keadaanya demikian, maka sebagai pelaku pengguna teknologi harus bijak dalam memanfaatkan kemajuan teknologi. Jangan sampai tertunggangi oleh percepatan teknologi ini, akan tetapi bagaimana caranya agar dapat menungganginya sesuai esensi teknologi sebagai salah satu alat kehidupan.

Melihat salah satu dampak negatif dari percepatan teknologi berupa munculnya fenomena generasi rebahan yang semakin merubah ekosistem masyarakat di masa pandemi Covid 19. Perubahan ini semakin lengkap dengan mulusnya agenda physical distancing yang banyak memakan korban terkhusus kalangan anak muda yang terbuai hingga terlena dengan percepatan teknologi. Contoh kasus dimana banyak dari mereka yang lebih memilih menghabiskan waktunya ber jam-jam hanya untuk bermain game online, tik-tokan, menonton drama korea yang kesemua itu bisa dilakukan dengan rebahan. Apakah ini merupakan tanda akan terkikisnya dimensi sosial?

Buah dari percepatan teknologi bisa saja membuat keadaan menjadi lebih individualis. Gaya hidup mager (malas gerak) dan rebahan mulai mengacuhkan individu dari keluarga, teman-teman dan tetangga yang harusnya membutuhkan interaksi. Bukan suatu hal yang aneh apabila menjumpai individu yang tidak lagi menghargai orang lain.

Merespon akan keadaan tersebut, alangkah baik bila kita mendekonstruksikan ulang pemahaman toleransi dan intoleransi karena hal ini dirasa termasuk ke dalam ranah sosial yang mulai terkisis porsinya. Russell Powell dan Steve Clarke dalam bukunya yang berjudul Religion, Tolerance and Intolerance: Views from Across the Disciplines, meletakkan elemen "tidak-mengganggu" sebagai inti dari toleransi. Porsi elemen "tidak-mengganggu" ini harus bersifat direct, atau "tidak-mengganggu-secara langsung". 

Dikatakan demekian karena didalam toleransi terkandung dua kata kunci sebagai prinsip dasarnya, yaitu terdapat unsur "kesengajaan" , dan unsur "tidak-mengganggu". Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa, hanya dengan "sengaja-tidak-mengganggu" terhadap orang lain maka seseorang disebut toleran.

Bertolak dari hal tersebut, pemahaman makana intoleransi merupakan kebalikan dari semua prinsip yang terdapat dalam toleransi. Setidaknya ada beberapa unsur yang kontradiktif seperti ketidak-mampuan menahan diri dari tidak suka kepada orang lain, adanya unsur mencampuri dan menentang sikap orang lain, dan sengaja-mengganggu orang lain. Dalam hal ini intoleransi bertumpu pada pemikiran seseorang. Intoleransi bukan tindakan spontan yang tiba-tiba muncul, namun keadaan itu terlahir dari kumpulan pemikiran yang tersusun dari pengalaman-pengalaman berfikir dalam diri.

Jika demikian adanya maka dapat disimpulkan bahwa intoleransi merupaan tindakan yang dibentuk. Contoh seorang individu menjadi tidak toleran karena pengaruh sebuah narasi-narasi yang keliru. Bila dalil-dalil intoleransi terus menerus ditanamkan dalam pikiran, maka keterpengaruhan akan sebuah narasi yang kemudian menjelma menjadi tindakan dikhawatirkan malah membentuk kebiasaan.

Tantangan akan realisasi toleransi dan intoleransi telah menjadi PR bagi generasi rebahan. Tentunya hal ini dikembalikan lagi kepada masing-masing individu untuk meresponya. Bentuk sikap sederhana berupa interaksi langsung dan saling menghargai sikap orang lain dirasa dapat menjadi solusi ringan agar terhindar dari kegagalan pengaplikasian toleransi.

Meski dimasa transisi pandemi ini masih diharuskan untuk physical distancing, bukanlah hal yang sulit apabila interaksi kecil berupa sapaan, obrolan singkat berjarak, senyuman, hingga upaya untuk mengucap terima kasih dapat menyelamatkan individu dari krisis toleransi. Semoga di masa transisi pandemi ini, kita semua dapat lebih memanusiakan manusia melaui porsi toleransi dan menghindarkan diri dari ruang intoleransi. Rebahanlah secukupnya tapi jangan budayakan mager (malas gerak) dalam keberlangsungan hidup bersosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun