Beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia gencar melakukan pembangunan infrastruktur, baik itu infrastruktur dasar maupun infrastruktur yang lainnya. Pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur tersebut dengan tujuan untuk mempermudah masyarakat ataupun untuk menunjang kehidupan masyarakat agar kedepannya menjadi lebih baik lagi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, pemerintah mengalami kendala klasik yang sering terjadi kepada negara-negara berkembang yang sedang melakukan pembangunan yang cukup masif, yaitu kebutuhan dana ataupun anggaran. Berangkat dari hal tersebutlah, pemerintah mengambil langkah dengan melakukan utang luar negeri. Akan tetapi, masih banyak pihak yang justru beranggapan bahwa utang luar negeri justru memiliki dampak yang kurang baik. Hal ini disebabkan karena negara memiliki banyak utang, terutama utang luar negeri. Lantas, apa dampak utang luar negeri terhadap kesejahteraan masyarakat di Indonesia ?
      Secara teoritis, utang luar negeri merupakan sebagian dari jumlah total utang luar negeri dari suatu negara yang diperoleh dari beberapa kreditor yang berada di luar negara tersebut. Menurut UU No.1 Tahun 2004 dijelaskan bahwa utang merupakan sejumlah uang yang wajib dibayarkan dari peminjam, dalam hal ini pemerintah maupun swasta, kepada para kreditur ataupun pihak yang meminjami berdasarkan perjanjian dan peraturan yang telah dibuat antar kedua pihak. Selain itu, menurut beberapa ahli, utang luar negeri juga bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk kerjasama antar negara, dalam hal ini negara yang berperan sebagai kreditur dan debitur.
Dari beberapa artikel yang sudah saya baca, Indonesia mendapatkan utang luar negeri dalam beberapa bentuk, yaitu bentuk bantuan proyek dan bantuan teknik. Bantuan proyek merupakan bantuan yang diberikan kepada negara yang bentuknya bisa beupa barang modal, barang, dan jasa. Sementara itu, bantuan teknik merupakan bantuan dari negara kreditur yang mengirimkan beberapa tenaga ahli untuk membantu penyelenggaraan pembangunan, khususnya pembangunan infrastruktur yang ada di Indonesia. Pada dasarnya, pemerintah melakukan hal tersebut dengan tujuan agar pembangunan infrastruktur, terutama yang menjadi proyek prioritas pemerintah, dapat terlaksana dengan baik dan maksimal. Hal tersebut juga akan berdampak pada kualitas hasil pembangunan infrastruktur tersebut. Berangkat dari hal itu, jika infrastrukturnya dapat dibangun secara maksimal, tentulah penggunanya, dalam hal ini masyarakat, dapat merasakan manfaat yang besar pula dari pembangunan infrastruktur tersebut, contohnya dalam bidang peningkatan ekonomi di daerah yang terkena dampak pembangunan infrastruktur tersebut. Jika hal itu terjadi, maka secara otomatis kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut akan meningkat juga.
Menurut Kementerian Keuangan melansir bahwa total utang pemerintah per maret 2019 sebesar Rp 4.567,31 triliun. Jumlah ini naik Rp 1,05 triliun dibandingkan bulan sebelumnya. Total hutang negara terdiri dari pinjaman yang sebesar Rp 791,19 triliun dan surat berharga negara (SBN) yang sebesar Rp 3.776,12 triliun. Penambahan hutang terjadi karena jumlah belanja negara meningkat dari tahun ke tahun, sementara jumlah pendapatan negara tidak maksimal sampai 100%. Sehingga pemerintah perlu melakukan hutang untuk sumber pembiayaan belanja negara. Hutang pemerintah digunakan untuk pembangunan insfrastruktur dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat.
      Pembangunan insfrastruktur menjadi kunci dari pertumbuhan industri serta ekonomi. Indonesia sudah ketinggalan jauh dari negara negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura dalam penyediaan insfrastruktur dasar. Penyediaan insfrastruktur dasar tidak semudah hanya membangun saja diperlukan perencanaan yang matang sehingga penggunaannya bermanfaat bagi masyarakat. Dari proses perencanaan hingga pembangunan tidak semurah yang dibayangkan ada harga yang harus ditebus pemerintah dalam mengejar ketertinggalan itu. Menurut Bappenas untuk mengejar ketertinggalan insfrastruktur dari tahun 2015-2019 dibutuhkan pembiayaan sekitar Rp 5000 trilliun. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 41% yang dapat dibiayai pemerintah melalui APBN/APBD. Belanja alokasi insfrastruktur ini jauh lebih tinggi daripada tahun tahun yang lalu. Oleh karena itu pemerintah membutuhkan pembiayaan yang lebih banyak, seperti pengedaran Surat Berharga Negara (SBN) dan hutang luar negeri.
      Jumlah utang luar negeri Indonesia saat ini mencapai 5.542 T dengan komposisi Rp 2.724,1 triliun dan Rp 2.818,5 triliun. Hutang luar negeri Indonesia tercatat mengalami pertumbuhan sekitar 7,9% lebih tinggi daripada pertumbuhan kuartal sebelumnya. Hal ini membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah. Hutang pemerintah ini diprioritaskan untuk pembiayaan pembangunan. Jumlah terbesar dipegang dari sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 18,8 persen, sektor konstruksi 16,3 persen, sektor jasa pendidikan 15,7 persen, sektor administrasi pemerintah, pertanahan dan jaminan sosial wajib 15,1 persen, dan sektor jasa keuangan dan asuransi sebesar 14,4 persen. Salah satu infrastruktur yang sedang terkenal saat ini adalah pembangunan MRT Jakarta. Pembangunan MRT jakarta adalah hasil hutang pemerintah kepada perusahaan jepang dengan pendanaan Rp 25 trilliun. Masih banyak lagi proyek pemerintah yang notabene dibiayai oleh hasil hutang luar negeri. Negara pemberi pinjaman terbesar ke Indonesia adalah Singapura pada Maret 2019, dengan total sebesar USD 64 miliar, Kemudian disusul Jepang dengan pemberi pinjaman USD 29,01 miliar, Amerika Serikat (AS) dengan pinjaman USD 21,35 miliar, lalu China dengan pinjaman USD 17,91 miliar, Selanjutnya Hong Kong dengan pinjaman USD 15 miliar, dan  Asia lainnya sebesar USD 10,46 miliar.
      Sebenarnya hutang untuk pembiayaan infrastruktur bukanlah hal yang baru, banyak negara yang berhutang pada swasta maupun luar negeri untuk pembangunan infrastruktur bahkan negara maju seperti jepang dan amerika mempunyai hutang yang luar biasa. Amerika pada tahun 1890 membangun rel kereta api yang menghubungkan daerah timur dengan midwest dengan cara berhutang atau menerbitkan obligasi. Hutang yang dilakukan pemerintah juga tidak sembarangan, pemerintah melakukan perhitungan fiskal dimana pembangunan yang dihasilkan nantinya mempunyai benefit yang melebihi dari hutang itu sendiri. Sehingga nantinya pemerintah bisa menambal jumlah hutang negara. Hutang sendiri dibatasi oleh undang undang yang notabene dibuat oleh DPR tidak boleh melebihi 60% dari total PDB kita. Beberapa negara seperti China, Amerika, dan Jepang mempunyai rasio hutang melebihi PDB mereka. Contohnya Amerika mempunyai rasio hutang sebesar 120% dari total PDB mereka, contoh lain adalah China yang diprediksi pada tahun 2022 rasio hutang mereka mencapai 300% dari total PDB mereka. China dan Amerika adalah 2 negara maju yang mempunyai perekonomian paling baik di dunia. Hal ini membuktikan bahwa negara maju yang mempunyai perekonomian yang maju pula mempunyai hutang.
      Hutang sebenarnya diperbolehkan asalkan mempunyai benefit yang lebih besar terhadap masyarakat, daripada jumlah hutang itu sendiri. Hutang yang mempunyai benefit terhadap masyarakat akan menimbulkan surplus terhadap perekonomian. Sementara hutang yang tidak direncanakan dengan baik sehingga tidak menimbulkan benefit terhadap masyarakat akan menimbulkan defisit terhadap negara. Selama pemerintah mengikuti aturan dari DPR yang ada yaitu rasio hutang tidak boleh  melebihi 60% dari PDB, mungkin adalah hal yang wajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H