Mohon tunggu...
ghufranuldzikri
ghufranuldzikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mewujudkan Lingkungan Yang Bebas Diskriminasi di Lingkungan Kampus dan Masyarakat

26 Januari 2025   23:36 Diperbarui: 26 Januari 2025   23:36 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan. (sumber: vecteezy.com)

Untuk menciptakan kampus yang inklusif, kita sebagai civitas akademika haruslah memiliki kesadaran dan Analisa yang tinggi mengenai isu-isu yang terjadi di sekitar kita. Membahas mengenai isu Gender Equality, isu ini mengenai masalah keseteraan gender yang mana peran perempuan yang sering kali dianggap sebagai sosok yang lemah di masyarakat dan hal ini merupakan sebuah contoh dari adanya isu diskriminatif kepada perempuan di Indonesia. Hal ini merupakan akibat dari stereotip masyarakat terhadap Perempuan yang sejak dulu sering kali dianggap sebelah mata. Tentunya ini juga merupakan bahan kajian bagi kita untuk menganalisa mengapa isu ini masih terjadi dan masih banyak kasus-kasus diskriminasi bahkan kasus pelecehan seksual kepada Perempuan. Sebagai contoh, kasus dari PT AICE di tahun 2017, yang memperlihatkan bagaimana Perempuan tidak mendapatkan hak-hak mereka seperti mendapat cuti hamil dan cuti melahirkan. Lalu mengapa hal ini masih terjadi? Seperti yang saya tulis sebelumnya, bahwa pandangan atau stereotip masyarakat terhadap Perempuan, yang mana masih banyak pandangan dan streotip negatif yang ditujukan kepada Perempuan. Padahal seharusnya baik laki-laki dan Perempuan memiliki hak yang sama atas apa usaha atau apa yang sudah mereka lakukan, karena kesetraan gender bukan tentang kesamaan dari segi fisik, namun kesamaan atas apa yang akan didapatkan dengan usaha yang sama.

Kemudian pada kasus pelecehan seksual, Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2023, terdapat sekitar 711 kasus mengenai pelecehan seksual terhadap Perempuan, melihat maraknya kasus pelecehan seksual yang terus terjadi, pastinya akan timbul pertanyaan, Mengapa hal ini masih marak terjadi? Padahal jika kita melihat masyarakat Indonesia yang sangat "agamis". Lebih mirisnya lagi, mengacu pada informasi yang didapat dari Komnas Perempuan, bahkan sempat ada kasus pelecehan terhadap 13 santriwati di Pondok Pesantren di Bandung. Hal ini tentu sangat memprihatinkan mengingat sebuah Pondok Pesantren yang merupakan sekolah dengan didikan agama yang kuat justru juga bisa menjadi tempat pelecehan seksual bagi para pelaku. Kita sebagai civitas akademika yang memiliki pendidikan, pemikiran, dan pemahaman yang mungkin lebih baik, sudah menjadi kewajiban bagi kita semua untuk mencegah hal-hal ini terjadi di masyarakat dan lingkungan kampus, kita sebagai mahasiswa harus menjadi agen penggerak untuk mencegah hal-hal diskrimininatif ini terjadi, mengadakan sosialisasi dan diskusi yang membahas mengenai kesetaraan gender, kasus-kasus pelecehan seksual dan solusi untuk permasalahan tersebut, kemudian tentang bagaimana mekanisme pengaduan dan bagaimana cara kampus memfasilitasi korban kasus-kasus tersebut ke badan hukum jika misalnya kasus tersebut terjadi di lingkungan kampus.

Sama halnya dengan isu Disability, kita sebagai civitas akademika harus berperan sebagai penggerak demi mendorong agar hak-hak mereka bisa tercapai. Kita harus menjadikan kampus sebagai kampus yang ramah untuk disabilitas, kita bertugas untuk mengusahakan bagaimana agar penyandang disabilitas mendapatkan hak nya dan juga bisa menjalani kehidupan kuliah mereka dengan baik, dan menikmati fasilitas kampus yang sama. Dengan mengadakan sosialisasi tentang penyandang disabilitas, dan menganalisa kebutuhan mereka, akan membuka pemahaman kita lebih jauh tentang mereka. Kemudian untuk mewujudkan kampus yang ramah untuk disabilitas, kita juga harus memperhatikan dan memfasilitasi fasilitas khusus untuk mereka seperti layanan pendampingan, area parkir khusus, toilet khusus sebagai fasilitas yang dapat mereka gunakan dengan nyaman.

Mungkin yang bisa saya simpulkan dari "Mewujudkan Kampus Inklusif: Strategi Penerapan Gender Equality, Disability dan Social Inclusion di Lingkungan Akademik" adalah, bagaimana kita bisa membentuk, membangun dan menggerakkan pola piker yang inklusif, yang bisa mendorong kita untuk berfikir dan menganalisis lebih luas dan lebih dalam. Membangun dan menggerakkan pola pikir inklusif merupakan hal yang sangat penting untuk bisa membangun kesadaran di lingkungan kita, terutama pada kasus Gender Equality dan Disability. Kita harus menjadi penggerak untuk membangun pola pikir yang baik tentang isu-isu tersebut agar memberikan pemahaman yang baik dan membangun pandangan yang positif di lingkungan kampus dan masyarakat. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai seorang civitas akademika untuk menjadi agen penggerak perubahan yang inklusif, memiliki kesadaran yang tinggi dan memiliki nilai-nilai integritas yang akan kemudian menghantarkan kita kepada kesejahteraan baik di lingkungan kampus maupun masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun