Dalam dunia medis 'kitab suci'nya adalah EBM : Evidence Based Medicine, BUKAN Evidence Based Money.
Dunia tahu betapa galaknya pemerintah republik Indonesia menyetop "jaket warsito" yang belum ada uji kliniknya, dengan alasan untuk melindungi keselamatan pasien.
Ok dapat di mengerti.
Bagaimana dengan terapi Hiperbarik (HBOT) ini?
Menurut wakil Ketua IDI Dr. Daeng M Faqih, SH,MH, metode ini relatif masih baru dan masih dikaji sehingga belum diadposi untuk pengobatan di Indonesia (MI, 15 Maret 2016)
Sehingga pertanyaan mendasarnya :
1.Belum ada bukti ilmiah teruatam terkait dengan : diabetes, autism, patah tulang, CP..dst
kenapa kok sudah bebas digunakan? Tanya kenapa?
2. Untuk bisa diadopsi kudu ada semacam technology assessment/penilaian prosedur kesehatannya dan ini domainnya kemenkes. Sudah adakah? Perlu lebih mendalam dilakukan penyelidikan terbakarnya alat medis HBOT ini, tidak terus mengambil kesimpulan disebabkan oleh korsleting listrik.
Terakhir, saya ingin sampaikan statement dari Prof. Iwan Dwi Prahasto, bahwa ada sekitar 4000 Obat yang sudah beredar tidak ada bukti ilmiahnya(EBM):obat batuk, obat untuk common cold, obat tetes mata campuran, obat lambung dsb, termasuk Hp Pro yang diklaim sebagi obat Hep C, Bagaimana sampai detik ini masih terus beredar, siapa yang dirugikan? Apa langkah konkrit kedepannya? Tanya Kenapa?
Sebab beberapa referensi menunjukkan bahwa hampir 70% produk industri farmasi di seluruh dunia termasuk dalam kategori non esensial dan duplikatif. Sebagian besar diantaranya justru masih dalam tahap eksperimental, sehingga efek terapetiknya belum pasti,tetapi secara politis telah beredar di masyarakat. Salah satu contoh klasifikasi obat adalah seperti yang dibuat oleh Barrals,yang disebut dengan klasifikasi Barrals. Berdasarkan klasifikasi ini terlihat bahwa lebih dari 56% obat yang dikonsumsi di dunia termasuk dalam kategori yang tidak memberikan efek terapetik.
Belum lagi obat-obat yang mungkin indikasinya secara spesifik tidak dijumpai, tetapi tetap dikonsumsi karena berbagai alasan terutama di negara sedang berkembang.
Di Indonesia sendiri SISTEM EVALUASI OBAT yang sangat ketat sebelum beredar baru dilakukan sekitar tahun 1980.
Sementara pada saat itu sudah ada lebih dari 5.000 obat yang ada di negara ini TANPA MELALUI KAJIAN ILMIAH YANG BENAR. Jadi, ada sekitar 4000 lebih obat yang saat ini masih beredar, tetapi tanpa disertai bukti ilmiah.
Jadi obat-obat yang demikian harusnya sudah ditarik dari peredaran, namun argumentasi yang dibangun, kapasitas pemerintah belum memadai untuk melakukan itu pada saat ini, terus mau sampai kapan? Siapa yang diuntungkan/dirugikan?
Tidakkah kita bisa bersikap lebih adil, arif dan bijaksana-sini?