Mohon tunggu...
Tiara Kirana
Tiara Kirana Mohon Tunggu... -

a doctor, a writer, an aloof

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pancuran Air Dingin

14 Agustus 2012   12:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:47 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Bagai disambar geledek” hanyalah sebuah ungkapan yang pernah dipelajari Flo di pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Suatu ungkapan yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya kecuali untuk menjawab soal ujian. Namun kata-kata itu sekarang bergema di kepalanya, memalu-malu otaknya, membuatnya mengerti sepenuhnya makna ungkapan tersebut. Flo hanya memikirkan rangkaian kata tersebut dan terdiam serta menatap nanar ke lawan bicaranya. Dia tidak sanggup dan tidak  mau berfikir hal  lainnya untuk menanggapi kabar yang disampaikan sosok didepannya tersebut, jadi Flo hanya mengulang-ulang kata-kata tersebut dan meresapi maknannya dalam-dalam.

“Flo..” Sosok tersebut memanggil dengan cemas dan mengguncang bahunya. Teguran dan goncangan tersebut menyadarkan Flo dan membawanya kembali ke alam sadarnya. Saat kesadarannya kembali, gelombang kemarahan berkuasa dan mengaburkan rasa sayang dan hormat yang dimilikinya untuk lawan bicaranya.  Hanya rasa malu untuk membuat orang-orang di coffeeshop tersebut memperhatikan merekalah yang menahan Flo untuk berteriak dan menumpahkan semua kemarahannya. Maka Flo hanya menatap dengan tajam, berharap tatapan matanya yang penuh angkara murka cukup membuat sosok  tersebut mengerti. Ya, dia mengerti. Sangat mengerti. Sosok tersebut memandang Flo berkaca-kaca, campur aduk perasaan, penuh dengan penyesalan, kesedihan namun tetap dengan segurat kebulatan tekad untuk mempertahankan apa yang sudah disampaikannya pada Flo.

Flo tahu dia tidak bisa menahan perasaannya lebih lama lagi. Segera ia mengambil tas dan kunci mobilnya, lalu menghambur dengan kecepatan yang cukup wajar. Cukup untuk tidak membuat pengunjung di coffeeshop tersebut menyadari gejolak perasaannya, kecuali mereka memperhatikan pipi putihnya yang semakin pucat pasi dan matanya yang merah menahan tangis amarah. Terkadang Flo  begitu bersyukur hidup dalam masyarakat yang egois-individualis, yang tidak akan memperhatikan masalah individu lainnya. Seperti harapannya dia keluar dari tempat tersebut tanpa menarik perhatian kepada dirinya maupun lawan bicaranya yang mungkin saat ini sedang diam-diam menghapus air matanya. Menyembunyikan perasaan, adalah salah satu sifat lihai yang dimiliki kedua orang tersebut . Flo mempelajarinya dari sosok tersebut, ibunya.

Sambil memacu mobilnya menuju kostannya,, Flo benar-benar tidak bisa berfikir jernih. Hanya bersyukur dia tidak menabrak siapapun dalam perjalanannya. Sesampainya di kamar kostannya, Tanpa melepaskan pakaiannya, Flo menjatuhkan tubuhnya dibawah pancuran air dingin. Kebiasaan ini sudah dimulainya dari SMP. Kebiasaan untuk membantunya berfikir lebih tenang sembari menyembunyikan air mata dan deru tangisannya sewaktu masih tinggal di rumah orang tuanya. Sepuluh tahun kemudian, meskipun dia sudah memiliki ruang pribadinya sendiri, kebiasaan ini tetap mampu membantunya melepaskan gejolak emosinya.

Flo tersenyum miris diantara sedu sedannya, teringat bagaimana kebiasaan ini bermula dari hal yang hingga saat ini berkelanjutan membuatnya menangis hebat sampai sekarang. Ya, Flo ingat tangisan dibawah pancuran air dingin dimulainya saat ia tahu perselingkuhan ibunya dengan rekan bisnisnya. Saat ia di kamar kedua orangtuanya, tanpa sengaja membaca pesan-pesan romantis yang dikirimkan pria tersebut di telfon genggam ibunya. Ibunya merebut telfon tersebut dengan penuh ketakutan dan menggenggam benda tersebut begitu erat dengan kedua tangannya hingga kuku-kukunya memutih. Ketakutan ibunya, kepucatan wajah dan bibirnya serta tatapan ibunya kearah lantai untuk menghindari berondongan pertanyaan Flo cukup menjawab semuanya. Flo mungkin masih berusia 14 tahun, tapi tidak bodoh. Flo sudah berusia 14 tahun, tapi Flo tidak bisa menahan dirinya untuk menangis dan menjerit karena marah. Ibunya yang tegas, yang selalu menekankan pentingnya norma dan tata krama semenjak kecil, selalu melarang Flo dengan tegas untuk menangis dan menjerit di depan umum apapun alasannya.  Bahkan bila terjatuh pun Flo hanya menangis pelan sembari ibunya mengobati dan mengayun-ayunnya hingga Flo tertidur. Namun saat itu, Flo tidak peduli norma, persetan dengan tata krama, Flo hanya menuntut penjelasan. Wanita yang membesarkannya itu pun tidak sanggup untuk menenangkan Flo, terpukul oleh ketakutannya, ia hanya bisa diam. Ayah Flo yang terkejut mendengar putri sulungnya bertingkah di luar kebiasaannya tersebut segera berlari menghampiri mereka. Kesadaran menghampiri Flo saat ia melihat ayahnya di ambang pintu. Ayahnya yang tampan, dengan sedikit rambut yang agak memutih, kumisnya yang selalu Flo ledek sebagai kumis yang ketinggalan jaman, perutnya yang sedikit membuncit namun tidak mengurangi ketampanannya. Flo menyadari konsekuensi yang akan terjadi bila ayahnya tahu apa yang ia ketahui saat ini. Maka Flo dengan susah payah menahan tangisnya, menatap tajam sekilas kea rah ibunya yang semakin pucat sewaktu melihat suaminya datang dan menatap sekilas penuh penyesalan kearah ayahnya.  Flo menghambur keluar dan mengunci dirinya di kamar mandi. Dimulailah kebiasaan itu dalam hidup Flo.

Setelah kejadian itu, Flo ingat dia tidak pernah merasa membutuhkan pancuran air dingin begitu besar lagi dalam hidupnya  kecuali saat ayahnya meninggal. Serangan jantung yang merenggut ayahnya, tepat 1 minggu sesudah penerimaan dirinya di salah satu universitas terkemuka, tepat tiga hari sebelum ayahnya berulangtahun. Flo ingat perasaan sedih tanpa alas an yang melandanya saat melambaikan tangan kepada ayahnya di bandara sewaktu melepas ayahnya dinas luar kota. Saat terakhir Flo melihat ayahnya tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya. Menerima kabar wafatnya pria terhebat dalam kehidupannya membuat Flo begitu shock namun dengan kesadaran tanggung jawabnya sebagai anak tertua, Flo mengurus pemakaman ayahnya. Ia merasa berkewajiban untuk tampak kuat dan tegar, untuk adik perempuannya dan ibunya. Ibunya yang meski dalam tahun-tahun terakhir kehidupan ayahnya telah diam-diam mengkhianati kepercayaan ayahnya, ternyata tetap memiliki perasaan kasih dan hormat kepada pria yang sudah menjadi ayah anak-anaknya. Flo tidak meneteskan air mata sedikitpun, hingga akhirnya melihat tanah menutupi peti ayahnya, Flo didera perasaan untuk berlari ke kamar mandi, mengunci dirinya dan menangis serta menjerit dibawah pancuran air dingin. Pada hari itu juga Flo masuk rumah sakit setelah pintu kamar mandinya didobrak paksa oleh seorang pamannya yang khawatir karena ia tidak kunjung keluar dari kamar mandi. Flo ditemukan pingsan kedinginan karena hypothermia. Disaat ketidaksadarannya Flo berjumpa ayahnya, ia menangis sambil memeluk meminta maaf kepada beliau karena menyembunyikan pengkhianatan ibunya. Ayahnya hanya tersenyum dan membelai lembut kepalanya, membisikkan, “ Ayah sudah tahu Nak.. Namun apapun yang terjadi ibumu akan selalu menjadi ibumu. Cintai dia Flo, apapun yang terjadi pertaruhan hidupnya melahirkanmu ke dunia membuatmu wajib memaafkannya apapun yang terjadi. Karena pertaruhan hidupnya melahirkanmu pulalah yang membuat ayah memaafkannya. Karena tanpanya ayah tidak memiliki putri-putri yang membuat hidup ayah begitu sempurna.” Saat tebangun, Flo menyadari tetesan airmata di pipinya dan lelehnya bekuan es kebencian pada ibunya.

Namun hari ini, sekali lagi Flo membutuhkan pancuran air dingin teramat sangat. Ibunya menyampaikan kabar pernikahannya, dengan pria yang telah merusak perkawinan ayah dan ibunya! Belum satu tahun kematian ayahnya, belum kering kuburan ayahnya, belum leleh sepenuhnya kebencian Flo pada pengkhianatan ibunya.. Flo ditampar oleh berita ini. Flo  tidak mengerti arah pikiran ibunya, Flo tidak mengerti apakah ibunya pernah memikirkan perasaan Flo dan adiknya saat merencanakan pernikahan tersebut, Flo tidak mengerti apakah dirinya dan adiknya tidak cukup untuk mendampingi Ibu hingga ibunya harus mencari kebahagiaan dari pria lain. Bukan sekedar pria lain. Pria yang menghancurkan kehidupan keluarganya, yang menghancurkan kepercayaan Flo pada  cinta, menghancurkan kepercayaan Flo pada ibunya.

Pancuran air dingin terus mengguyur tubuh Flo, yang sudah duduk dibawahnya sejak berjam-jam yang lalu. Flo mulai merasa kedinginan, namun Flo menikmatinya. Ia mulai memejamkan matanya dan berharap  rasa dingin yang dirasakan tubuhnya dapat membekukan perasaannya saat ini.

Air dingin terus menyapu air mata di pipi Flo, bunyi air pancuran tetap menyembunyikan tangisan dan sedu sedan Flo. Flo hanya mampu terus terduduk dibawahnya. Entah sampai kapan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun