Lebih lanjut, dari sudut pandang filsafat negara, beliau menjelaskan bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara di mana penopang utama dari keberadaan sebuah negara adalah rakyat. Kata rakyat ini tidak lain mengacu kepada manusia itu sendiri. Ia adalah kumpulan manusia yang memiliki keserupaan satu sama lain, sekaligus perbedaan. Mereka adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, mereka memiliki hak tertentu, terutama hak untuk hidup. Sedangkan sebagai makhluk sosial, mereka memiliki kewajiban untuk mematuhi aturan atau norma tertentu. Dan pada Pancasila, hak dan kewajiban tersebut telah termaktub dalam muatan yang begitu padat di tiap-tiap sila yang membentuknya.
Dasar Epistemologis Pancasila
Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang sistem pengetahuan. Secara sinkronis, bisa dijabarkan bahwa sebuah pengetahuan merupakan sebuah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang bisa saja saling menopang satu sama lain; atau sebaliknya mungkin saja saling bersinggungan dalam pertikaian. Sedangkan secara diakronis, sistem pengetahuan ini selalu berkaitan dengan unsur kesejarahan di mana keberadaan sebuah pengetahuan bisa dikatakan merupakan sebuah akibat dari sebab-sebab yang mendahuluinya. Sebab-sebab di sini merupakan pengetahuan-pengetahuan lama yang mengalami transformasi untuk menemukan sebuah bentuk baru yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat melihat adanya ketumpangtindihan pengertian antara epistemologi dengan ontologi. Hal-hal yang bertumpangtindih ini merupakan hal wajar, karena realitas atau kenyataan yang menjadi dasar pengetahuan sendiri selalu terdiri dari bagian-bagian yang tidak pernah berdiri sendiri. Dalam konteks sistem filsafat Pancasila sendiri, ketumpangtindihan antara ontologi dan epistemologi itu terletak pada manusia yang menjadi sumber dari terciptanya sebuah sistem pengetahuan. Berkaitan dengan hal ini Profesor Kaelan menjelaskan:
"Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya.. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia." (Filsafat Pancasila, hal. 97)
Dasar epistemologis atau sumber pengetahuan Pancasila, secara lebih spesifik adalah bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai dan adat istiadat tersendiri. Dengan kata lain Pancasila merupakan sistem pengetahuan yang berasal dari pemikiran dan kebudayaan bangsa Indonesia sendiri; bukan hasil dari sebuah penjiplakan terhadap ciri khas yang melekat pada bangsa lain. Meskipun begitu, tetap saja tidak ada yang benar-benar murni. Para penggagas konsep Pancasila sendiri, merupakan para pemikir yang menimba khazanah pengetahuan dari berbagai macam belahan dunia, tidak hanya dari Indonesia saja, tidak hanya dari Timur saja, namun mereka juga memetik kebijaksanaan yang bersumber dari pengetahuan Barat. Jadi sangat mungkin Pancasila itu bersifat hibrida.
Dasar Aksiologis Pancasila
Aksiologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang nilai. Yang dimaksud dengan nilai di sini berkaitan dengan keberhargaan manusia, bagaimana ia menilai diri sendiri dan juga kehidupannya: apakah ia telah berarti dan memberikan arti, apakah ia telah benar-benar berfungsi dan bermanfaat bagi kehidupan itu sendiri, dan sebagainya. Dari sudut pandang yang lebih 'objektif', nilai ini diartikan sebagai suatu kualitas atau kemampuan yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. (Namun pertanyaannya tentu saja berkaitan dengan kehendak. Apakah benda-benda itu berkehendak dengan kualitas yang ada padanya untuk memuaskan atau tidak memuaskan manusia. Ataukah, manusia itu yang 'menemukan' kualitas pada benda-benda, menandainya, sehingga dapat memanfaatkannya demi kepuasan-kepuasan hidupnya.)
Terdapat dua tolok ukur yang biasa digunakan untuk menilai keberartian tersebut, yaitu etika dan estetika. Etika berkaitan dengan aturan atau kesepakatan sosial; di mana seorang manusia merasa berarti ketika ia mampu melaksanakan aturan-aturan yang dilekatkan kepadanya. Sedangkan estetika berkaitan dengan keindahan yang sifatnya bisa saja sangat subjektif. Keberartian manusia dari sudut pandang estetika ini berkaitan dengan pengejawantahan rasa dalam bentuk-bentuk yang konkret. Misalnya, ketika seorang manusia menciptakan sebuah karya seni, maka di saat itulah dia sedang merasa berarti.
Pancasila sendiri, selain mengandung etika atau nilai moral dan nilai estetika, juga terkandung nilai-nilai lain yang saling menunjang satu sama lain. Nilai-nilai tersebut, seperti yang disebutkan oleh Profesor Kaelan dalam buku Filsafat Pancasila, adalah nilai kerohanian, nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, dan nilai kesucian. Keseluruhan nilai ini bersifat sistematik-hirarkis, di mana sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya. Sila-sila yang lain: Kemanusiaan, Persatuan, dan Kerakyatan merupakan metode-metode atau strategi-strategi untuk mencapai tujuan Keadilan Sosial yang tetap berlandaskan pada basis Ketuhanan.
Â
Aktualisasi Sistem Filsafat Pancasila
Pada bagian sebelumnya tentang sistem filsafat Pancasila telah disinggung mengenai dasar aksiologis atau nilai-nilai pada Pancasila. Tentu yang namanya nilai-nilai tersebut hanya akan menjadi teori belaka jika tidak dapat diaktualisasikan dalam kehidupan nyata bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itulah sebuah rumusan sederhana, yang tidak terlalu bersifat mendikte, tentang aktualisasi nilai-nilai tersebut penting untuk disampaikan.
Terkait permasalahan aktualisasi Pancasila ini, kita bisa merujuk pada penjelasan Profesor Kaelan dalam buku Filsafat Pancasila. Di dalam buku tersebut dijabarkan 8 poin terkait hal ini. Namun di dalam tulisan singkat ini hanya akan diuraikan dua secara ringkas dua poin saja, yaitu Aktualisasi Pancasila yang Subyektif dan Aktualisasi Pancasila yang Objektif. Penjelasan selengkapnya terdapat pada subbagian di bawah ini.